Mohon tunggu...
Wisal Albaist Sukanda
Wisal Albaist Sukanda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Tidak punya panggung politik, tidak punya jabatan publik. Hanya seorang rakyat kecil yang percaya bahwa suara sederhana pun bisa menjadi bagian dari perjuangan menyalakan kembali api reformasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Yang Tertunda: Masa Depan Demokrasi Indonesia

3 September 2025   16:00 Diperbarui: 3 September 2025   15:40 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang seharusnya mengakhiri praktik otoritarianisme di Indonesia. Rakyat bersatu, mahasiswa menjadi ujung tombak, dan suara “reformasi” menggema hingga menggulingkan rezim yang menindas. Harapan kita saat itu sederhana: negara yang berdaulat atas nama rakyat, lembaga politik yang transparan, aparat keamanan yang humanis. Namun, lebih dari dua dekade setelahnya, janji itu masih jauh dari kenyataan.

Kini, sekali lagi rakyat dipaksa turun ke jalan. Pada tanggal 28, demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai daerah Indonesia. Pemicunya begitu telanjang: kenaikan tunjangan DPR yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan di tengah krisis ekonomi. Ketika rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok, harga bahan pokok melonjak, lapangan kerja semakin sempit, justru para “wakil rakyat” berlomba menambah fasilitas dan kenyamanan mereka sendiri. Apa gunanya demokrasi bila yang dipilih rakyat hanya sibuk memperkaya diri?

Gelombang Perlawanan Rakyat

Aksi protes ini tidak lagi hanya milik mahasiswa. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Bandung hingga Medan, rakyat lintas profesi ikut turun ke jalan. Para buruh, pelajar, ojek online, bahkan pedagang kecil, semuanya tumpah ruah membawa satu pesan: cukup sudah DPR hidup di atas penderitaan rakyat.

Namun, seperti pola lama yang terus berulang, jawaban negara terhadap jeritan rakyat hanyalah represi. Gas air mata menyesakkan jalanan, peluru menghantam tubuh mahasiswa, pentungan menghajar mereka yang menolak bubar. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom rakyat justru hadir sebagai lawan.

Di tengah kobaran perlawanan itu, jatuhlah korban. Salah satunya adalah Affan, seorang pengemudi ojek online, yang bukan aktivis garis depan, bukan orator politik, melainkan rakyat kecil yang hanya ingin pulang mencari nafkah. Namun, ia terjebak dalam kerusuhan dan menjadi salah satu korban nyawa. Affan kini adalah simbol bahwa represi negara tidak pandang bulu: rakyat biasa pun bisa menjadi korban hanya karena berada di jalan yang salah pada waktu yang salah.

Presiden yang Abai, Aparat yang Diganjar

Apa yang paling menyakitkan dari semua ini bukan hanya darah yang tumpah, tetapi juga diamnya penguasa. Dari berbagai pidato resmi, dari pernyataan yang keluar di media, tak sekalipun terdengar ucapan maaf dari Presiden. Tidak ada pengakuan salah, tidak ada tanggung jawab moral.

Alih-alih memberikan empati pada keluarga korban, negara justru memberikan penghargaan dan kenaikan pangkat kepada aparat yang bertugas saat demonstrasi. Apakah ini bentuk legitimasi atas kekerasan? Apakah ini isyarat bahwa nyawa rakyat bisa ditukar dengan bintang di pundak?

Sikap ini menambah jurang antara rakyat dan penguasa. Presiden yang semestinya berdiri sebagai simbol persatuan, kini terlihat lebih memilih berdiri di sisi aparat, bukan rakyat. Demokrasi tanpa nurani inilah yang membuat reformasi terasa seperti proyek yang gagal.

DPR dan Polri: Dua Lembaga yang Gagal Direformasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun