Di balik gemerlap pembangunan kota, tersembunyi kisah-kisah perjuangan di pelosok negeri, di mana setiap langkah adalah saksi bisu dari pengorbanan yang tak terhingga.
Di berbagai pelosok negeri Indonesia, jalan yang rusak sudah menjadi kebiasaan. Aspal yang mengelupas, lubang besar di tengah-tengah jalur, dan batu-batuan tajam yang berserakan membuat perjalanan menjadi ujian kesabaran. Genangan air yang menutupi lubang setelah hujan sering menipu dan menjebak kendaraan yang datang melewatinya tanpa curiga. Jalan yang bertujuan memudahkan transportasi antar tempat malah menjadi tembok penghalang yang terbesar.
Fenomena ini memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia. Anak-anak datang ke sekolah dengan sepatu berisi lumpur dan kaki yang basah. Petani kesulitan untuk membawa hasil panennya karena harus mengeluarkan lebih banyak tenaga setiap melewati jalan yang rumpil. Kendaraan sering tersangkut di tengah jalan karena lumpur dan genangan membuat jalur tak bisa dilewati. Di titik-titik ini, infrastruktur bukan mementingkan kenyamanan, melainkan nasib. Ini adalah potret nyata dari pengorbanan yang tak terucap, sebuah keheningan yang menyelimuti perjuangan harian mereka, menanti uluran tangan pembangunan yang tak kunjung tiba.
Berbeda dengan desa, kota-kota besar memiliki infrastruktur yang mewah dan terawat. Sarana-sarananya terdiri dari jalan layang megah, taman terawat, dan trotoar yang rapi. Perbedaan ini semakin mempertegas jurang pemisah antara janji pembangunan dan realitas di lapangan. Di sisi lain, di pedesaan, perbaikan jalan sering datang lambat atau bahkan tidak pernah tiba. Warga pedesaan hanya bisa berharap suatu hari nanti ada perhatian yang nyata, karena bagi mereka, kualitas jalan bukan sekadar fasilitas, tetapi penentu harapan bisa sampai ke tujuan atau tidak. Harapan itu, seringkali, adalah satu-satunya bahan bakar yang membakar semangat mereka untuk terus bertahan, meskipun dalam keheningan yang mendalam.
Waktu, sama dengan jalan yang rumpil, tidak selalu mengalir mulus. Terdapat hari-hari yang retak di tengah, seperti kaca yang belum pecah sepenuhnya, tetapi cukup untuk membuat pantulan menjadi kabur. Di antara rutinitas yang membeku, terselip celah-celah kecil tempat kenangan menyelinap masuk dan mengganggu napas yang seharusnya tenang serta membuyarkan batas antara masa ini dan masa lalu.
Keheningan mereka bukanlah tanda kekalahan, melainkan sebuah doa yang dipanjatkan tanpa suara, sebuah harapan yang terus berkobar di tengah ketidakpastian, menanti kehangatan pembangunan yang adil untuk menyentuh setiap sudut tanah air.
Dalam keheningan yang seringkali disalahartikan sebagai ketidakpedulian, tersimpan sebuah pengorbanan besar. Pengorbanan dari mereka yang terus melangkah di atas jalanan yang hancur, memikul beban pembangunan yang tak seimbang, demi kemajuan yang mungkin tak pernah mereka rasakan secara langsung. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang suaranya teredam oleh bisingnya pembangunan di pusat kota, namun jejak langkah mereka adalah fondasi bagi setiap kemajuan yang dicapai bangsa ini.
Pada jam-jam yang sunyi ini, hidup terasa rumpil, terpotong-potong oleh jeda yang tak terucapkan, oleh rindu yang datang tanpa diundang dan tak pernah sepenuhnya diterima. Tidak ada ledakan emosi atau tangis keras yang bisa dijadikan tanda amarah, hanya ada gema sepi yang memantul dari dinding ke dinding, menemani tubuh yang lelah bukan hanya karena tenaga yang terkuras. Waktu tetap berjalan, tetapi tidak lurus. Ia terus berputar miring, tersendat, kadang terhenti di satu detik yang tak pernah selesai. Keheningan ini bukan berarti mereka tak bersuara, melainkan suara mereka terlalu sering tak terdengar, tenggelam dalam hiruk pikuk janji-janji yang tak pernah terealisasi. Mereka berdiam, bukan karena pasrah, melainkan karena keyakinan bahwa suatu hari nanti, pengorbanan mereka akan berbuah manis, bahwa kehangatan infrastruktur yang layak akan menyentuh setiap sudut desa, membawa harapan baru bagi generasi mendatang.
Dalam hidup yang rumpil ini, kebahagiaan terasa seperti kunjungan singkat. Ia datang sebentar, lalu menghilang sebelum sempat diberi tempat duduk. Ia menampakkan diri sesekali, menyisakan hangat yang samar, lalu meninggalkan ruang kosong yang lebih besar dari sebelumnya. Maka, di antara ruang-ruang kosong itulah, seseorang belajar diam. Diam bukan karena tidak ingin bicara, tetapi karena tak tahu harus berkata apa lagi kepada waktu yang tak pernah benar-benar utuh. Diam ini adalah bahasa universal para pejuang di pelosok negeri, sebuah deklarasi tanpa kata bahwa mereka akan terus berjuang, menanti fajar pembangunan yang adil dan merata. Mereka adalah pilar-pilar bangsa yang tak terlihat, yang dengan ketabahan dan kesabaran, terus mengukir sejarah di atas jalanan yang berlubang, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, kehangatan pembangunan akan benar-benar merata, tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di setiap jengkal tanah pedesaan yang telah lama menanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI