Pernah suatu ketika, ayah nyaris kehilangan nyawanya. Ia didorong orang tak dikenal ke jurang, di dekat lereng sungai. "Ini bekasnya," kata ayah seraya menunjukkan bekas luka panjang di dahinya. Luka itu dulu membusuk dan membuatnya demam tinggi selama berhari-hari. Untung ada seorang petani yang menemukannya, menolong, dan merawat ayah secara diam-diam.
Sementara itu, ibu yang masih jadi pacarnya, berjualan ke pasar sambil menangis tiap pagi. Ia selalu membawa dagangannya sendiri, tanpa bantuan ayah. Pedagang lain bergosip, bahkan ada yang bilang ayahku sudah mati.
Tapi doa ibu kuat. Ayah selamat dan pulang. Setelah itu, mereka menikah. Ancaman mulai mereda. Tak ada lagi niat jahat yang datang, paling hanya godaan kecil dari perempuan-perempuan pasar yang suka bercanda.
"Ada yang ngajak Ayah kawin lagi, jadi istri simpanan," kata ayah sambil tertawa. "Tapi Ayah tahu batas. Canda ya canda, tapi rumah tangga tetap harus dijaga."
Kini, ketika ayah duduk santai di teras sambil menyirami bunga, aku bisa melihat garis luka itu di dahinya. Luka yang dulunya nyaris merenggut nyawanya, kini jadi pengingat tentang perjuangan dan kesetiaan. Tentang doa ibu yang tak pernah putus. Dan tentang cinta yang tak mudah goyah meski badai datang silih berganti.
Tangerang, 3 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI