Penulis : Widodo, S.Pd.
Kau tahu, aku selalu diajarkan untuk mengampuni dan mendoakan musuh. Tapi, tidak semudah itu, kan? Aku masih ingat saat teman sejawatku, Rina, selalu mengolok-olokku di depan teman-teman lain.Â
" Ini loh teman kita, kerjaannya molor melulu," kata Rina kepada teman-teman sambil menunjukkan fotoku di HPnya. Foto aku sedang ketiduran. Aku merasa sangat terluka dan marah, karena Rina tidak tahu bahwa aku memang kurang tidur selama beberapa hari ini karena aku menjaga anakku yang sedang sakit disertai rewel setiap malam. Toh aku tidur sudah di luar jam kerja, kata hatiku membela diri.Â
Aku lebih terluka dan marah lagi, ketika foto -- foto ku yang sedang ketiduran itu disampaikan ke atasanku. Hingga aku terkena sanksi berupa surat peringatan pertama.
Suatu hari, aku memutuskan untuk mengikuti retret spiritual di gereja. Pastor yang memimpin retret itu berbicara tentang pentingnya mengampuni dan mendoakan musuh. Aku merasa termenung mendengar kata-katanya.
"Mengampuni bukan untuk kepentingan mereka, tapi untuk kepentingan diri kita sendiri," kata pastor itu.
Aku mulai berpikir tentang bagaimana aku bisa mengampuni Rina. Aku memutuskan untuk mendoakannya setiap hari, agar dia bisa menjadi orang yang lebih baik.
Beberapa minggu kemudian, Rina mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Aku merasa tergerak untuk mengunjunginya. Saat aku melihatnya terbaring di tempat tidur, aku merasa iba dan tergerak hatiku oleh belas kasihan.
Aku memegang tangannya dan berdoa dalam hati.
 "Tuhan, tolonglah Rina dan ampuni aku jika aku telah berbuat salah padanya."