Mirisnya, banyak organisasi tidak memiliki rencana keberlanjutan pasca-proyek. Setelah proyek selesai, mereka bersih tangan, seolah tenaga kerja hanyalah ban serep yang bisa dibuang setelah habis pakai.
Posisi bisa lenyap dalam semalam hanya karena donor mengubah prioritas atau indikator kegiatan. Loyalitas macam apa yang bisa diharapkan dari kondisi sekacau ini?
Jadi, ketika Anda (HRD atau recruiter) melihat seseorang berpindah kerja setiap 1-2 tahun, jangan langsung melabeli mereka "tidak konsisten" atau "kutu loncat" dengan senyum sinis Anda. Itu adalah refleksi kemalasan berpikir Anda. Coba tanya dulu, dengan serius, bukan basa-basi: "Apa pemicu perpindahan itu? Pembelajaran apa yang Anda dapatkan dari setiap transisi tersebut?" Jika pertanyaan ini pun tidak terpikirkan oleh Anda, maka Anda perlu mempertanyakan relevansi pekerjaan Anda sendiri.
Pindah Bukan Karena Gagal, Tapi Karena Realistis: Sebuah Realita Pahit yang Harus HRD Telan
Izinkan saya---dan jutaan profesional lain di sektor serupa---membuka mata Anda, wahai HRD, tentang alasan-alasan mengapa kami memilih untuk berpindah, bukan karena kami suka, tapi karena kami terpaksa:
Proyek selesai, tanpa keberlanjutan. Titik. Ini bukan kegagalan adaptasi, ini adalah fakta brutal di lapangan. Manajemen yang amburadul tidak becus memikirkan keberlanjutan karir karyawannya.
Manajemen amburadul nan toksik. Tidak ada kejelasan arah, tidak siap menghadapi krisis, dan terlalu sibuk menjilat donor demi citra, ketimbang membersihkan borok internal. Lingkungan kerja macam ini bukan tempat bertumbuh, melainkan kuburan motivasi.
Lembaga toksik, sarang buaya berdasi. Di sini, kolaborasi dimaknai sebagai pengorbanan sepihak dari karyawan, dan kerja keras dibayar lunas dengan janji-janji kosong yang hanya menjadi angin surga. Ini bukan tempat bekerja, ini penjara mental.
Nilai pribadi tak lagi sejalan. Ketika kami merasa hanya "menjalankan pekerjaan" tanpa makna, kehilangan esensi dari apa yang kami perjuangkan. Bertahan di tempat seperti ini sama dengan menjual jiwa.
Dan jujur saja, mayoritas lembaga LSM di Indonesia belum belajar bagaimana membangun sustainability roadmap yang substansial. Mereka jago betul merangkai proposal indah nan fantastis, namun sangat payah dalam membangun tim jangka panjang yang solid. Akhirnya, pekerja datang dan pergi bukan karena tidak loyal, tapi karena lembaganya tidak siap menjadi tempat bertumbuh, hanya tempat persinggahan tanpa masa depan. Ini adalah kegagalan sistemik lembaga, bukan kegagalan individu pekerja.
HRD Perlu Upgrade Perspektif: Jangan Jadi Dinosaurus di Era Modern!