Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Mungkin karena melihat wajah lelah serta tas bawaan yang berat di punggung, membuat dia sengaja membiarkanku untuk istirahat sejenak. Setelah itu, ia menanyakan tujuan kedatangan ke desa tersebut. 

Setelah dijelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak berbincang-bincang tentang apa saja sampai akhirnya aku mulai gelisah dengan tugas yang harus segera selesai di desa tersebut mengingat terbatasnya waktu. 

Rupanya tuan rumah menangkap kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu khawatir, orang-orang yang dicari sudah dihubungi semua, katanya. Bahkan warga yang dicari dan sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantarku ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. 

Hal seperti ini selalu kualami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk membantu apa saja yang kuperlukan.

Situasi yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh, ternyata kini jarang terlihat lagi. 

Mungkin telah tergerus oleh budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan, apalagi mengantar? Bahkan tak jarang mereka malah menyesatkan kita.

Masyarakat yang tradisional, udik, katrok, yang ditemui di sana lebih "modern" dari segi nilai sosial kemanusiaannya dan mentalnya. Modern dan tidak modern seharusnya tidak hanya dilihat dari kacamata pernak-pernik atau aksesoris kehidupannya saja, tetapi juga menjangkau aspek nilai.

Sebuah Ironi

Ada yang salah dengan para pemimpin di negeri ini. Atau mungkin ada yang salah dengan diri kita semua sebagai sebuah bangsa. Bagamana tidak, saudara sebangsa dan setanah air kita ternyata banyak yang masih hidup nelangsa di ujung-ujung sana. Yang hidup dalam kungkungan jelaga sampai tak tahu apa itu dunia luar.

Bukan maksud mendiskreditkan saudara di sebelah kita. Bukan pula memalingkan muka dari tetangga terdekat kita. Tapi, hanya beritikad dan mengajak untuk memandang nan jauh di sana. Agar kita tak terkungkung dalam mentalitas kerdil tersekat-sekat pada batas primordial.

Patut dicamkan, kita pun mungkin lupa bahwa kita adalah semua yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Bukan Jawa an sich, atau bukan pula dari Sunda, Betawi, sampai Jawa. Indonesia ini luas, kawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun