Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Setelah menginjakkan kaki di tanah Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas. Bahkan jika pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Tetapi saat malam akan terasa dingin menusuk tulang.

Namun di tengah kondisi yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir seluruh lautan di Alor. 

Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata, melebihi Bali. Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang.

Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Bisa jadi penyebab lambatnya kemajuan adalah ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah di sana dalam memajukannya. Ketidakmampuan dalam hal pengetahuannya, sumberdaya manusianya, maupun ketidakmampuan finansialnya.

Sulitnya Akses

Kendala utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi, maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan kendaraan. Bahkan banyak di antaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui dengan sepeda motor sekalipun, terutama saat musim hujan. 

Ini diperparah dengan sulitnya akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada, biasanya menggunakan genset/generator milik desa sebagai sumber listrik.

Namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas. Rata-rata sekitar jam 6 sore sampai jam 11 malam saja listrik akan menyala dengan ditenagai genset. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.

Permasalahan ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di sana sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa, atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya.

Kendala berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi. 

Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo meter sudah tidak dikeluhkannya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun