Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Otonomi daerah diupayakan dengan maksud mendistribusikan kewenangan pusat kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, pelayanan publik, dan pengaturan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Namun dengan otonomi daerah, tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan kondisi di daerah. 

Kenyataannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan di daerah secara merata, khususnya di daerah-daerah terluar dari Indonesia. 

Wilayah Indonesia Timur biasanya merupakan daerah yang paling tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Distribusi ekonomi belum merata hingga pelosok-pelosok negeri.

Tulisan ini ingin membahas dan menampilkan potret kehidupan sosial ekonomi di salah satu daerah terluar dari Indonesia, yaitu Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

Tulisan ini bukanlah hasil penelitian yang komprehensif, namun lebih kepada penjelasan deskriptif tentang sebagian besar kehidupan masyarakat di Alor yang penulis lihat dan alami ketika melakukan kunjungan dan survey di beberapa kecamatan di Kabupaten Alor tahun 2013 lalu. 

Boleh dibilang ini lebih sekedar catatan hasil perjalanan. Dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, data dan fakta yang terlihat akan dibahas dengan perspektif penulis, namun bukan bermaksud mengeneralisasikan.

Mutiara yang Terpendam

Sungguh menyedihkan memang, menjadi bagian Indonesia namun serasa dikucilkan. Pembangunan dan perubahan sosial ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah metropolitan saja, khususnya Jawa sentris. 

Mari berhitung tentang berapa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang mengalami perkembangan secara ekonomi? Ada berapa provinsi yang pembangunan infrastrukturnya memadai dengan kemudahan akses?

Banyak orang yang enggan jika harus mendapatkan penempatan kerja di wilayah luar Indonesia seperti NTT, khususnya bagi orang Jawa. Yang ada di benak kita ketika berbicara Nusa Tenggara Timur adalah wilayah yang jauh dari peradaban, udik orang-orangnya, terbelakang, miskin, sulit akses komunikasi dan transportasi, dan seabrek permasalahan infrastruktur lainnya. Memang tidak dapat disalahkan pendapat tersebut. Itulah kenyataan di sebagian besar wilayah NTT. Begitu juga dengan Kabupaten Alor.

Kabupaten Alor terletak di sebuah pulau yang terpisah dari gugusan pulau Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu feri, pesawat perintis atau pesawat dengan ukuran yang kecil, yang jadwal pemberangkatannya pun terbatas. 

Setelah menginjakkan kaki di tanah Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas. Bahkan jika pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Tetapi saat malam akan terasa dingin menusuk tulang.

Namun di tengah kondisi yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir seluruh lautan di Alor. 

Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata, melebihi Bali. Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang.

Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Bisa jadi penyebab lambatnya kemajuan adalah ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah di sana dalam memajukannya. Ketidakmampuan dalam hal pengetahuannya, sumberdaya manusianya, maupun ketidakmampuan finansialnya.

Sulitnya Akses

Kendala utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi, maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan kendaraan. Bahkan banyak di antaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui dengan sepeda motor sekalipun, terutama saat musim hujan. 

Ini diperparah dengan sulitnya akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada, biasanya menggunakan genset/generator milik desa sebagai sumber listrik.

Namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas. Rata-rata sekitar jam 6 sore sampai jam 11 malam saja listrik akan menyala dengan ditenagai genset. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.

Permasalahan ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di sana sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa, atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya.

Kendala berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi. 

Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo meter sudah tidak dikeluhkannya lagi.

Kendala lainnya adalah sulitnya akses komunikasi lewat telepon. Satu-satunya yang memungkinkan adalah komunikasi menggunakan jaringan seluler atau lewat HP. Itu pun tidak semua desa atau kecamatan ada jaringan. 

Jaringan yang bisa digunakan di Alor hanya menggunakan Telkomsel. Namun, terbatasnya pemancar dan tower penguat sinyal, menyebabkan tidak bisa menjangkau seluruh desa. 

Karena sulitnya sinyal, tak heran ada istilah-istilah aneh yang dikenal warga di plosok-plosok desa terkait dengan sinyal ini. Ada yang namanya pohon sinyal, tiang sinyal, rumah sinyal, dan sebutan lain. Ini dikarenakan sinyal hanya bisa didapat di tempat-tempat tersebut saja. Jadi, jika warga ingin berkomunikasi mengirim SMS atau telepon harus ke tempat-tempat itu.

Gara-gara persoalan sinya ini, ada hal unik. Terkadang pada malam hari banyak orang berkumpul di bawah pohon hanya untuk menelpon atau SMS-an. 

Anehnya lagi, sinyal hanya bisa diterima untuk mengirim atau menerima SMS hanya pada posisi tertentu saja. Jika bergeser atau berubah posisi saja, sinyal akan lenyap. Karena sulitnya jaringan seluler ini, tak heran banyak masyarakat yang memiliki handphone namun bukan untuk keperluan komunikasi, tetapi hanya untuk hiburan seperti pemutar musik, vidio, foto, maupun bermain game.

Budaya dan Karakter

Dari sisi budaya dan karakternya, orang Alor memiliki sifat dan karakter yang keras. Itu terlihat dari cara bicaranya, suaranya, serta gerak-gerak tubuh ketika berkomunikasi. Jadi jika kita berasal dari Jawa yang cenderung lebih halus dalam bertutur kata akan memandang orang Alor sangat keras dan kasar. 

Bahkan ketika mereka berbicara terkesan sedang bertengkar atau berdebat seru, padahal mungkin sedang biasa saja. Orang di sana juga memiliki sifat yang terbuka dan terus terang apa adanya dan tidak segan atau malu untuk mengakui kebodohannya, ketidak-tahuannya, dan ketidaksukaannya kepada orang lain.

Satu hal positif yang dimiliki masyarakat Alor adalah jiwa menolongnya sangat tinggi, apalagi terhadap orang asing yang tidak dikenal. Jika mereka ingin menolong, akan diusahakan sampai tuntas.

Pernah suatu ketika berkunjung ke suatu desa dan hendak mencari salah seorang warga yang entah di mana rumahnya. Tiba-tiba ada warga yang telah mengamati sejak aku datang ke desa itu. 

Dia menghampiri dan menawarkan diri untuk singgah di rumahnya yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang belum layak untuk dikatakan rumah. Dia menyuguhkan minum dan semua makanan yang dia punya di rumah itu sebelum bertanya tentang maksud kedatanganku di desa itu. 

Mungkin karena melihat wajah lelah serta tas bawaan yang berat di punggung, membuat dia sengaja membiarkanku untuk istirahat sejenak. Setelah itu, ia menanyakan tujuan kedatangan ke desa tersebut. 

Setelah dijelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak berbincang-bincang tentang apa saja sampai akhirnya aku mulai gelisah dengan tugas yang harus segera selesai di desa tersebut mengingat terbatasnya waktu. 

Rupanya tuan rumah menangkap kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu khawatir, orang-orang yang dicari sudah dihubungi semua, katanya. Bahkan warga yang dicari dan sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantarku ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. 

Hal seperti ini selalu kualami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk membantu apa saja yang kuperlukan.

Situasi yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh, ternyata kini jarang terlihat lagi. 

Mungkin telah tergerus oleh budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan, apalagi mengantar? Bahkan tak jarang mereka malah menyesatkan kita.

Masyarakat yang tradisional, udik, katrok, yang ditemui di sana lebih "modern" dari segi nilai sosial kemanusiaannya dan mentalnya. Modern dan tidak modern seharusnya tidak hanya dilihat dari kacamata pernak-pernik atau aksesoris kehidupannya saja, tetapi juga menjangkau aspek nilai.

Sebuah Ironi

Ada yang salah dengan para pemimpin di negeri ini. Atau mungkin ada yang salah dengan diri kita semua sebagai sebuah bangsa. Bagamana tidak, saudara sebangsa dan setanah air kita ternyata banyak yang masih hidup nelangsa di ujung-ujung sana. Yang hidup dalam kungkungan jelaga sampai tak tahu apa itu dunia luar.

Bukan maksud mendiskreditkan saudara di sebelah kita. Bukan pula memalingkan muka dari tetangga terdekat kita. Tapi, hanya beritikad dan mengajak untuk memandang nan jauh di sana. Agar kita tak terkungkung dalam mentalitas kerdil tersekat-sekat pada batas primordial.

Patut dicamkan, kita pun mungkin lupa bahwa kita adalah semua yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Bukan Jawa an sich, atau bukan pula dari Sunda, Betawi, sampai Jawa. Indonesia ini luas, kawan.

Aku pun tercenung ketika kuinjakkan kaki ini. Kuayunkan langkah ini, setapak demi setapak di tanah yang baru aku tahu, itu Alor. Jujur, aku mengakui saat itu, bahwa di sana lah medan bertempur untuk menggugurkan sebuah kewajiban tugas. 

Bahkan, sempat terbesit enggan jika harus hidup di sana walau sebulan. Lagi-lagi, saat itu aku berpikir hanya sebatas menggugurkan kewajiban tugas.

Kukuatkan langkah, kutekadkan hati, agar tak goyah terhantam gelombang frustasi. Hari demi hari berlalu. Mulai kuakui Alor itu menyenangkan, unik, dan memiliki pesona tersendiri. 

Baru kusadar, di sanalah, di kedalaman lautan teduh, tersimpan mutiara kedamaian. Jauh dari hiruk pikuk pragmatisme mahluk metropolis. Dekat dengan batas-batas nurani.

Di sana kubelajar tentang keluguan. Di sana pula kubelajar tentang arti ketulusan. Dan di sana aku belajar tentang Indonesia, dari sisi yang lain

Kadang kumenitikkan air mata di tengah derai tawa wajah-wajah lugu nan tulus mereka. Sering aku tinggalkan teman-teman yang sedang bercengkrama dengan mereka. 

Bukan untuk menghindar karena risih, apalagi benci. Hanya untuk menyembunyikan air mata ini mengalir. Agar mereka tetap tertawa lepas tanpa terganggu air mata ini.

Bukan bermaksud melankolis, tapi hidup di sana memang menghadirkan alunan melankoli. Bernada bebas, beraliran lepas. Nada demi nada begitu saja masuk ke dalam sanubari membentuk ritme.

Kalabahi adalah tempat pertama yang kusinggahi di tanah Alor pada Tanggal 4 Oktober 2013. Tadinya, kupikir itu adalah sebuah kelurahan atau desa kecil di Alor. 

Namun ternyata, baru tahu bahwa itu adalah "kota impian", dream city. Sebuah Ibu Kota Kabupaten Alor. Disimpulkan demikian setelah beberapa minggu hidup di pedalaman Alor, yang akan kuceritakan kemudian.

Sepintas tak ada yang menarik di ibu kota ini. Bahkan jika dibanding kota kecil di Pulau Jawa seperti Purbalingga, Purwokerto, Ciamis, Kuningan, Wonosobo, Solo, Banyuwangi, apalagi dengan Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Tak terbanding. Masih kalah jauh.

Maritaing, ibukota kecamatan yang pertama disinggahi sebagai wilcah (wilayah cacah)  pertama. Wilcah ini sebutan untuk lokasi sampel survey. Total ada 8 wilcah yang akan kami singgahi. 

Artinya akan ada 8 kecamatan yang akan dijelajahi dengan masing-masing kecamatan terdiri dari rata-rata 8-10 desa. Ini belum menghitung persebaran dan pertambahan responden survey kami yang sangat mungkin sudah berpindah desa atau beranak-pinak di desa lain.

Kami bertolak ke Kecamatan Alor Timur, dengan Ibu Kota Kecamatan Maritaing. Kurang lebih hampir 4 jam perjalanan kami tempuh dengan kendaraan pick up yang disewa. Kendaraan angkutan itu layaknya pick up biasa yang didesain untuk angkutan umum dengan diberi kap penutup di atasnya. Itulah salah satu angkutan di sana selain juga mobil truk.

(Kondisi jalan dan angkutan di Alor. (Foto dokumen pribadi)
(Kondisi jalan dan angkutan di Alor. (Foto dokumen pribadi)
Tak terbayangkan jalan yang akan dilalui serusak dan berdebu itu. Alhasil, tidak sedikit dari kami yang mabuk perjalanan. Obat anti mabuk pun kandas tak berbekas. 

Hanya rasa pusing dan mual yang terus membayangi. Selama perjalanan itu, mobil kami harus berhenti beberapa kali karena kondisi kami yang pusing dan juga mesin mobil yang terlalu panas.

Untunglah pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan luar biasa indahnya. Menyusuri garis pantai di Alor luar biasa cantiknya. Belum pernah kutemui pemandangan ini seumur hidupku. 

Rasa pusing dan mual terbayar dengan memandang cakrawala lautan yang biru, jernih, dan memantulkan kesejukan. Ingin berlama-lama berdiam diri memandang di sana. Dalam hati bertekad, nanti akan kusempatkan memandang keindahan seperti ini di lain waktu.

Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.

(Salah satu tempat tinggal penduduk Alor. (Foto dokumen pribadi)
(Salah satu tempat tinggal penduduk Alor. (Foto dokumen pribadi)
Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. 

Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas kusaksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini."

Tahukah kalian bahwa masih banyak orang-orang di sana yang tidak bisa membayangkan mengenai jalanan aspal yang mulus dan lebar? Bahkan mereka pun tak bisa membayangkan mengenai gedung-gedung pencakar langit yang terang benderang yang berlantaikan granit atau marmer halus. Juga tak tahu apa itu lift dan eskalator.

Pernah suatu ketika berbincang dengan salah seorang kepala desa di Alor. Ia menceritakan kebodohan dan keluguannya sendiri saat berkunjung ke Jawa, khususnya ke Yogyakarta. Saat itu, katanya, ada acara diklat untuk kepala desa se-Indonesia yang bertempat di Yogyakarta.

Dengan antusias menertawakan kebodohannya sendiri, ia bercerita tentang kekagumannya saat menaiki kereta api, saat jalan di sebuah jalan tol yang lebar dan halus tanpa hambatan. 

Lebih lugunya lagi saat ia masuk ke sebuah hotel berbintang tempat acara diklat dilaksanakan. Begitu melihat ruangan lobi hotel yang mewah dengan lampu menyala terang dan lantai bak kaca, ia ragu untuk melangkah masuk. Sampai akhirnya ia melepas sepatu yang dikenakannya.

Saat ditanya, alasannya karena sayang-sayang lantai sebersih itu harus diinjak-injak sepatu kotor. Kasihan yang membersihkannya, katanya.

Banyak hal yang diceritakan mengenai pengalaman pertamanya, seperti melihat gemerlap terangnya perkotaan yang berbanding terbalik dengan kondisi daerahnya yang gelap saat malam. 

Empuk, bersih, dan wanginya kasur hotel pun menggelitik sifat polosnya, sampai-sampai malam pertama rela tidur di lantai yang beralaskan karpet.

Semua cerita ini selalu ia ceritakan berulang saat kembali ke desanya yang disambut decak kagum dan keheranan bagi tetangga-tetangganya yang berkumpul mendengarkan dengan khidmat bak mendengar dongeng negeri khayalan.

Cerita tersebut menggambarkan betapa timpangnya kehidupan di Indonesia. Bayangkan, seorang kepala desa, sebegitu polosnya. Belum lagi kalau berbicara keseharian mereka di sana. 

Infrastruktur pendidikan di sebagian besar wilayah Alor juga tidak mendukung. Minimnya tenaga pendidik dan fasilitas selalu menjadi daftar masalah urutan teratas setiap institusi pendidikan. Tak jarang seorang guru harus meng-handle pengajaran 2-3 kelas sekaligus di jam yang sama. 

Ada pula cerita dewan komite orang tua murid yang akhirnya ikut mengabdikan dirinya mengajar tanpa bayaran sepeserpun. Ada guru honorer yang hanya digaji 150-250 ribu sebulan harus mengajar full time. 

Bayaran yang tak seberapa itu pun terpaksa harus ia ambil sendiri ke ibukota kabupaten setiap 3 bulan sekali dengan ongkos pulang pergi bisa mencapai 150 ribu rupiah. 

Tentu tidak perlu dipertanyakan mengenai kualifikasi pendidikan bagi tenaga guru honorer ini. Sudah barang tentu banyak yang tidak memenuhi standar.

Dari sekian banyak sekolah SD yang dikunjungi di Alor, komposisi tenaga pengajar PNS dan yang honorer atau pengabdian, sangat timpang. Satu sekolah rata-rata hanya ada 3-4 guru PNS, bahkan ada yang hanya 2 guru dengan jabatan PNS. 

Meski dengan keterbatasan semua itu, semangat belajar dan mengajar di sana patut diacungi jempol. Mereka rela berjalan kaki naik turun bukit tanpa alas untuk sekedar belajar di sekolah yang hanya beberapa jam saja.

(Beberapa siswa sekolah dasar hendak berangkat ke sekolah. (Foto dokumen pribadi)
(Beberapa siswa sekolah dasar hendak berangkat ke sekolah. (Foto dokumen pribadi)
Maka wajar jika saudara-saudara kita yang berasal dari daerah terluar atau pelosok Indonesia sulit bersaing. Wajar pula jika daerahnya lambat dalam pertumbuhan dan perkembangan, karena kualitas pendidikan di sana juga tidak memadai. 

Bukan karena mereka tak mampu secara intelektual, tetapi hanya persoalan kesempatan dan privilage semata yang tidak mereka miliki seperti kita yang di Jawa atau daerah perkotaan lainnya.

Saat pemerintah pusat mulai melirik pembangunan infrastruktur secara masif untuk daerah luar Jawa yang selama ini tidak tersentuh pembangunan, seharusnya kita tak perlu sinis. 

Selama ini saudara kita sudah cukup menanggung kesulitan hidup di tanah air Indonesia. Sebagai sesama warga negara, sudah saatnya mereka bisa menikmati hal yang sama. Sebuah pemerataan pembangunan, pemerataan kesejahteraan.

Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dikotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya.

Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun