Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Pernah suatu ketika berbincang dengan salah seorang kepala desa di Alor. Ia menceritakan kebodohan dan keluguannya sendiri saat berkunjung ke Jawa, khususnya ke Yogyakarta. Saat itu, katanya, ada acara diklat untuk kepala desa se-Indonesia yang bertempat di Yogyakarta.

Dengan antusias menertawakan kebodohannya sendiri, ia bercerita tentang kekagumannya saat menaiki kereta api, saat jalan di sebuah jalan tol yang lebar dan halus tanpa hambatan. 

Lebih lugunya lagi saat ia masuk ke sebuah hotel berbintang tempat acara diklat dilaksanakan. Begitu melihat ruangan lobi hotel yang mewah dengan lampu menyala terang dan lantai bak kaca, ia ragu untuk melangkah masuk. Sampai akhirnya ia melepas sepatu yang dikenakannya.

Saat ditanya, alasannya karena sayang-sayang lantai sebersih itu harus diinjak-injak sepatu kotor. Kasihan yang membersihkannya, katanya.

Banyak hal yang diceritakan mengenai pengalaman pertamanya, seperti melihat gemerlap terangnya perkotaan yang berbanding terbalik dengan kondisi daerahnya yang gelap saat malam. 

Empuk, bersih, dan wanginya kasur hotel pun menggelitik sifat polosnya, sampai-sampai malam pertama rela tidur di lantai yang beralaskan karpet.

Semua cerita ini selalu ia ceritakan berulang saat kembali ke desanya yang disambut decak kagum dan keheranan bagi tetangga-tetangganya yang berkumpul mendengarkan dengan khidmat bak mendengar dongeng negeri khayalan.

Cerita tersebut menggambarkan betapa timpangnya kehidupan di Indonesia. Bayangkan, seorang kepala desa, sebegitu polosnya. Belum lagi kalau berbicara keseharian mereka di sana. 

Infrastruktur pendidikan di sebagian besar wilayah Alor juga tidak mendukung. Minimnya tenaga pendidik dan fasilitas selalu menjadi daftar masalah urutan teratas setiap institusi pendidikan. Tak jarang seorang guru harus meng-handle pengajaran 2-3 kelas sekaligus di jam yang sama. 

Ada pula cerita dewan komite orang tua murid yang akhirnya ikut mengabdikan dirinya mengajar tanpa bayaran sepeserpun. Ada guru honorer yang hanya digaji 150-250 ribu sebulan harus mengajar full time. 

Bayaran yang tak seberapa itu pun terpaksa harus ia ambil sendiri ke ibukota kabupaten setiap 3 bulan sekali dengan ongkos pulang pergi bisa mencapai 150 ribu rupiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun