Contohnya seperti pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pyrometallurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar, sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatility yang cukup tinggi. Mengacu pada harga nikel 5 tahun terakhir di LME, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 per ton.
Jika harga nikel nantinya jatuh, maka risiko investasinya cukup tinggi. Kondisi tersebut akhirnya memaksa perusahaan menanggung risikonya tanpa adanya intervensi atau bantuan dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga ekonomis.Â
Rizal berharap, jangan sampai ketika harga nikel jatuh, pemerintah kemudian 'berdiam diri' dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi, pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor. Maka dari itu, Rizal menilai, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini.Â
Pemaparan Rizal sepertinya perlu diamini, sebab jika pemerintah tidak melakukan diskusi terlebih dahulu dengan pebisnis lebih detail dan saksama mengenai iklim investasi, harga komoditas, hingga kondisi industri pertambangan, agaknya hilirisasi yang digembar-gemborkan tersebut tak akan terealisasi dengan baik serta bijak.
Bisa jadi, konsep tersebut hanyalah isapan jempol belaka dalam implementasinya. Bahkan, hilirisasi hanyalah klaim 'bijak' dari pemerintah, namun tak menguntungkan pebisnis. Padahal dalam berbisnis, kedua belah pihak yang berkongsi harus sama-sama diuntungkan, kan?