Di penghujung 2024, Indonesia kembali mendapat sorotan: ekonomi digital yang melaju kencang menempatkan negeri ini sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain mencatat bahwa nilai transaksi digital (GMV) Indonesia diperkirakan mencapai sekitar US$90 miliar pada 2024 --- sebuah lonjakan yang menegaskan potensi pasar domestik.Â
Namun kebanggaan atas angka besar itu mesti dilihat beriringan dengan soal yang jauh lebih penting: apakah negara benar-benar menguasai data transaksi yang menjadi basis pemajakan? Keberhasilan menumbuhkan pasar digital tanpa penguasaan atas data transaksi berisiko menghasilkan pertumbuhan yang hanya tampak di angka-angka, sementara penerimaan negara dari aktivitas tersebut tidak termaksimalkan.
Risiko kebocoran penerimaan
Penerimaan pajak bergantung pada data yang valid. Di ekonomi tradisional, catatan perbankan dan laporan keuangan memudahkan otoritas pajak. Di dunia digital, transaksi sering tercatat di platform dan server lintas negara --- sehingga akses fiskal menjadi rumit. Kondisi ini membuka peluang praktik base erosion and profit shifting (BEPS), di mana keuntungan dialihkan ke yurisdiksi berdampak rendah sehingga negara pasar kehilangan hak pemajakan. Implikasi praktisnya bukan sekadar teori: hingga akhir 2024 pemerintah melaporkan penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital Rp32,32 triliun, dengan PPN PMSE sebagai komponen terbesar (sekitar Rp25,3 triliun). Angka ini menunjukkan kenaikan penerimaan digital, namun juga memperlihatkan bahwa porsi yang masuk kas negara masih relatif terbatas dibandingkan besarnya aktivitas digital.
Yang makin meresahkan adalah ketidakadilan fiskal. UMKM lokal yang berjualan di platform digital wajib mematuhi ketentuan pajak domestik, sementara perusahaan digital multinasional dapat memanfaatkan struktur lintas negara untuk mengurangi beban pajak. Kesenjangan ini menciderai prinsip persaingan adil dan merongrong basis penerimaan jangka panjang.
Upaya yang telah dilakukan --- dan keterbatasannya
Pemerintah telah mengambil langkah konkret. Sejak 2020, kebijakan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mewajibkan pelaku platform tertentu menjadi pemungut PPN, dan penunjukan pemungut terus bertambah (pada laporan Januari 2025 tercatat sekitar 211 pemungut PMSE). Selain itu, Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum internasional untuk menekan praktik penghindaran pajak. Kesepakatan internasional untuk menetapkan global minimum tax (Pillar Two) sebesar sekitar 15% adalah salah satu upaya penting untuk menutup celah pengalihan keuntungan perusahaan multinasional. Namun implementasi kebijakan global dan domestik memerlukan penyesuaian, koordinasi hukum, serta kapasitas administrasi yang kuat.Â
Masalahnya: kebijakan yang digulirkan --- walau relevan --- belum cukup untuk menjamin kedaulatan data dan pemajakan yang tuntas. PPN PMSE baru menjangkau sebagian transaksi digital; data granular transaksi konsumen dan nilai transaksi lintas platform seringkali berada di luar jangkauan administrasi fiskal karena lokasi server, struktur korporasi, atau keterbatasan kerja sama lintas yuridiksi.
Jalan memperkuat kedaulatan digital
Masa depan penerimaan negara di era digital membutuhkan strategi terpadu: