Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kedaulatan Digital: Fondasi Baru Masa depan Penerimaan Pajak Indonesia

17 September 2025   10:30 Diperbarui: 16 September 2025   10:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di penghujung 2024, Indonesia kembali mendapat sorotan: ekonomi digital yang melaju kencang menempatkan negeri ini sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain mencatat bahwa nilai transaksi digital (GMV) Indonesia diperkirakan mencapai sekitar US$90 miliar pada 2024 --- sebuah lonjakan yang menegaskan potensi pasar domestik. 

Namun kebanggaan atas angka besar itu mesti dilihat beriringan dengan soal yang jauh lebih penting: apakah negara benar-benar menguasai data transaksi yang menjadi basis pemajakan? Keberhasilan menumbuhkan pasar digital tanpa penguasaan atas data transaksi berisiko menghasilkan pertumbuhan yang hanya tampak di angka-angka, sementara penerimaan negara dari aktivitas tersebut tidak termaksimalkan.

Risiko kebocoran penerimaan

Penerimaan pajak bergantung pada data yang valid. Di ekonomi tradisional, catatan perbankan dan laporan keuangan memudahkan otoritas pajak. Di dunia digital, transaksi sering tercatat di platform dan server lintas negara --- sehingga akses fiskal menjadi rumit. Kondisi ini membuka peluang praktik base erosion and profit shifting (BEPS), di mana keuntungan dialihkan ke yurisdiksi berdampak rendah sehingga negara pasar kehilangan hak pemajakan. Implikasi praktisnya bukan sekadar teori: hingga akhir 2024 pemerintah melaporkan penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital Rp32,32 triliun, dengan PPN PMSE sebagai komponen terbesar (sekitar Rp25,3 triliun). Angka ini menunjukkan kenaikan penerimaan digital, namun juga memperlihatkan bahwa porsi yang masuk kas negara masih relatif terbatas dibandingkan besarnya aktivitas digital.

Yang makin meresahkan adalah ketidakadilan fiskal. UMKM lokal yang berjualan di platform digital wajib mematuhi ketentuan pajak domestik, sementara perusahaan digital multinasional dapat memanfaatkan struktur lintas negara untuk mengurangi beban pajak. Kesenjangan ini menciderai prinsip persaingan adil dan merongrong basis penerimaan jangka panjang.

Upaya yang telah dilakukan --- dan keterbatasannya

Pemerintah telah mengambil langkah konkret. Sejak 2020, kebijakan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mewajibkan pelaku platform tertentu menjadi pemungut PPN, dan penunjukan pemungut terus bertambah (pada laporan Januari 2025 tercatat sekitar 211 pemungut PMSE). Selain itu, Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum internasional untuk menekan praktik penghindaran pajak. Kesepakatan internasional untuk menetapkan global minimum tax (Pillar Two) sebesar sekitar 15% adalah salah satu upaya penting untuk menutup celah pengalihan keuntungan perusahaan multinasional. Namun implementasi kebijakan global dan domestik memerlukan penyesuaian, koordinasi hukum, serta kapasitas administrasi yang kuat. 

Masalahnya: kebijakan yang digulirkan --- walau relevan --- belum cukup untuk menjamin kedaulatan data dan pemajakan yang tuntas. PPN PMSE baru menjangkau sebagian transaksi digital; data granular transaksi konsumen dan nilai transaksi lintas platform seringkali berada di luar jangkauan administrasi fiskal karena lokasi server, struktur korporasi, atau keterbatasan kerja sama lintas yuridiksi.

Jalan memperkuat kedaulatan digital

Masa depan penerimaan negara di era digital membutuhkan strategi terpadu:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
    Lihat Kebijakan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun