Mohon tunggu...
Wawan Periawantoro
Wawan Periawantoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Punya usaha kecil-kecilan

Seorang ayah sederhana yang terus berusaha membuat keluarga bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Terapkan Pajak Ekspor Nikel, Pebisnis Minerba Siap Kencangkan Sabuk

23 Agustus 2022   16:13 Diperbarui: 23 Agustus 2022   16:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi seseorang sedang pusing. Sumber: Unsplash.com

Pada Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa Indonesia kemungkinan akan memberlakukan pengenaan pajak atas ekspor nikel demi meningkatkan pendapatan dan mempromosikan manufaktur lokal yang bernilai tinggi. Menurutnya, pengenaan pajak ekspor nikel ini untuk menambah nilai bagi Indonesia, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan lapangan kerja lebih banyak bagi masyarakat Indonesia. 

Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, hal ini masih wacana dan perlu didiskusikan lebih lanjut karena membutuhkan diskusi teknis mendetail serta kapan diterapkannya, dikutip dari Liputan6.com, Selasa (2/8). Namun seorang pejabat senior pemerintah mengatakan pada 1 Agustus, bahwa pemerintah berencana untuk mengeluarkan kebijakan pajak ekspor nikel pada kuartal ketiga tahun ini.

Jika dilihat dari kacamata 'general', rencana pemerintah untuk membuat kebijakan baru terkait pajak ekspor nikel ini diyakini menciptakan keadilan usaha di industri pertambangan dalam negeri. Namun, perlu diingat, bahwa dalam berbisnis, terdapat multipihak yang terlibat; negara, investor, dan pebisnis.

Jikalau pajak ekspor nikel ini dilihat dari kacamata pebisnis dan investor, maka keputusan tersebut dinilai akan menambah beban pengusaha, sehingga membuat industri nikel akan tertekan. Apalagi jika pajak yang diterapkan adalah bersifat progresif alias bernilai tinggi!

Dalam penerapan pajak ekspor nikel, menurut Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, dikutip dari Katadata pada Sabtu (20/8), Indonesia akan mengenakan pajak NPI dan Feronikel berdasarkan harga nikel serta batu bara yang digunakan dalam produksi sebagai sumber energi.

Namun, berdasarkan beberapa penelusuran, pemerintah rupanya telah merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di dalam beleid yang diterbitkan 15 Agustus 2022 ini, awalnya pajak ekspor diberlakukan untuk semua jenis komoditas nikel kandungan rendah selain Nickel Pig Iron (NPI), Feronikel (FeNi).

Pada lampiran PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada halaman 18, semua komoditas pemurnian seperti Nickel Matte, Ferro Nickel (FeNi), Nickel Oksida, Nickel Hidroksida,  Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfida, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida, Magnesium Sulfat pada akhirnya juga dikenakan pajak ekspor!

Jumlahnya pun tak main-main, semua komoditas pemurnian tersebut dikenakan pajak ekspor 5% per ton dari harganya. Tentunya jumlah pajak ekspor ini begitu tinggi; pajak ekspor progresif. Padahal semua orang tahu bahwa dalam per harinya, industri pertambangan bisa memproduksi berpuluh-puluh ton bahkan jutaan ton. 

Jika dalam per hari jumlahnya tidak menentu, dari sudut pandang pebisnis, tentu penghitungan pajak akan menyulitkan berjalannya proses produksi. 

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menerangkan bahwa pengenaan pajak ekspor progresif bisa menimbulkan risiko jika tidak dipikirkan dan didiskusikan dengan matang. 

Contohnya seperti pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pyrometallurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar, sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatility yang cukup tinggi. Mengacu pada harga nikel 5 tahun terakhir di LME, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 per ton.

Jika harga nikel nantinya jatuh, maka risiko investasinya cukup tinggi. Kondisi tersebut akhirnya memaksa perusahaan menanggung risikonya tanpa adanya intervensi atau bantuan dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga ekonomis. 

Rizal berharap, jangan sampai ketika harga nikel jatuh, pemerintah kemudian 'berdiam diri' dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi, pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor. Maka dari itu, Rizal menilai, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini. 

Pemaparan Rizal sepertinya perlu diamini, sebab jika pemerintah tidak melakukan diskusi terlebih dahulu dengan pebisnis lebih detail dan saksama mengenai iklim investasi, harga komoditas, hingga kondisi industri pertambangan, agaknya hilirisasi yang digembar-gemborkan tersebut tak akan terealisasi dengan baik serta bijak.

Bisa jadi, konsep tersebut hanyalah isapan jempol belaka dalam implementasinya. Bahkan, hilirisasi hanyalah klaim 'bijak' dari pemerintah, namun tak menguntungkan pebisnis. Padahal dalam berbisnis, kedua belah pihak yang berkongsi harus sama-sama diuntungkan, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun