Saat kita akan memutuskan akan melakukan sebuah usaha bisnis, ada pertanyaan mendasar yang 'wajib' dijawab dengan pasti. Apakah akan berjuang sendirian sebagai solopreneur, atau justru mencari kekuatan dalam kemitraan?
Pertanyaan ini bukan hanya sekedar pilihan cara berbisnis, melainkan juga menunjukkan bagaiama jiwa kita dalam wirausaha, sebuah DNA bisnis. Ibarat sidik jari, DNA ini unik, menentukan bagaimana seorang pebisnis akan berkembang, beradaptasi untuk meraih sukses.
Sebagian orang, bermitra adalah keniscayaan. Namun, bagi sebagian lainnya yang menginginkan kebebasan mutlak dalam setiap langkah, motivasi tinggi mengeksplore potensi, jalur solopreneur jadi pilihan lebih menantang dirinya.
Ini bukanlah pilihan benar salah, namun sebagai panggilan otentik diri. Mengambil jalur solo melewati medan berat menunju puncak sukses. Dan saya mencoba ingin merasakan jalur ini, tentu saja sesuai kapasitas kualitas yang dimiliki.
Solopreneur atau Bermitra, Mana DNA Bisnis mu?
Seorang solopreneur dalam berbisnis lebih menekankan kepercayaan dirinya bahwa dia mampu menyelesaikan dari awal sampai hasil sebuah produk barang/jasa. Dia sudah menstigmakan dirinya mampu menyelesaikan semua pekerjaan, termasuk resiko yang dihadapi.
Dalam beberapa situasi mungkin mereka akan meminta bantuan fihak lain, namun tidak dijadikan sebagai bagian dari oerasional rutinatis, hanya sementara.
Seorang solopreneur cenderung tidak berfokus pada pengembangan usaha yang lebih besar. Tapi lebih bagaiamana dia membangun basis usaha yang lebih stabil yang mampu diselesaikan sendiri.
Keunggulan solopreneur  yang tidak dimiliki saat bermitra, mampu mengontrol penuh semua tindakan, tidak perlu menunggu pendapat orang lain. Dia juga memiliki tingkat fleksibilitas yang baik, bergerak cepat, bekerja sesuai gayanya.
Dengan model ini tentu saja keuntungan sepenuhnya milik sendiri, selain itu tingkat branding diri makin kuat melekat erat dengan identitas dan reputasi pribadi solopreneur, menguatkan personal branding.
Kita tidak akan berpikir tentang keuntungan, jika kita tidak siap menghadapi berbagai kendala yang harus dihadapi. Beban kerja dan tanggung jawab makin berat hingga potensi burnout-pun makin tinggi.