Di ujung jalan gelap temaram, di antara suara knalpot bising, sangkur membunuh sunyi,
Seorang bocah menggigil limbung.
Bukan sungai menghanyutkan, namun lumpur jalanan, onak duri menyesatkan.
Mata memerah, nyaris tak bernyawa di antara kepulan asap rokok.
Terjebak dalam lingkaran kehidupan pekat masa depan..
Mengapa dengan mereka?
Siapa mereka?
Apakah tiada yang perduli?
Sementara dicafe pinggir jalan...
Ramai tongkrongan, sibuk menunjuk, mempersalahkan kelakuan.Â
Disebuah gedung sesak orang berdasi... penuh diskusi hebat.
Sang pakar berperang konsep..
Sang pemerhati bertumpuk teori,
tak menyelesaikan apa-apa…
Nasihat berhamburan, bak pecahan cermin retak di aspal,..
Sementara si bocah tetap terkapar tak berdaya, dibiarkan...
Ibu bapaknya hanya menangis pasrah..
Dari kegelapan muncul seorang bapak tua, sederhana tak terlihat pintar, hanya berbekal cinta.
Tak banyak bicara, tak banyak kata, segera mengangkat si bocah...
Ditariknya pelan dari kegelapann, dibawa pengobatan..
Terapi sendiri dia lakukan, tanpa memperdulikan cibiran orang.
Si bocah menangis lirih dipelukan ibunya, memohon ampun khilaf.
Pertanyaan kita semua,..
Apakah kita membiarkan anak terus tenggelam hingga mati?
Disaat terkapar, haruskah kita berdebat siapa berhak, siapa salah,
Itu cara salah, yang ini benar tak pernah dilakukan,
Yang itu salah namun menyelamatkan,
Sebuah ironi uluran tangan.
Siapa yang dangkal?
Siapa yang dalam?
Jawabannya ada pada nurani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI