Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menimbang Gerakan Sapu Bersih Intoleransi

21 Juli 2018   14:17 Diperbarui: 21 Juli 2018   14:36 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial dan intoleransi (dok. pri).

Beberapa bulan yang lalu dalam sebuah obrolan sore bersama tiga orang rekan di kedai kopi tak jauh dari Jalan Kaliurang Yogyakarta, saya melontarkan kegelisahan tentang kehidupan beragama akhir-akhir ini. Menurut saya kehidupan beragama sekarang mulai diliputi ketidaknyamanan. Wacana publik yang memenuhi ruang dan pemikiran masyarakat juga kurang bermutu dan cenderung negatif. Isi dan diksinya tidak jauh-jauh dari agama, umat, ulama, kafir, dan munafik.

Kecenderungan tersebut bertalian dengan tsunami di media sosial. Ujaran kebencian, berita bohong, fitnah, dan propaganda berserakan di linimasa. Saya pun menjadi sering melaporkan konten-konten negatif yang melintas di media sosial, sekalipun itu disebarkan oleh orang yang saya kenal.

Menguat Karena Media Sosial

Kehidupan beragama dan toleransi kita sekarang ada di persimpangan jalan. Orang semakin mudah menghina dan menyerang sesama di media sosial. Semakin banyak akun, baik yang anonim maupun akun milik pesohor yang gemar memproduksi dan menyebarluaskan konten-konten negatif. Keadaan diperkeruh oleh sejumlah kelompok, tokoh, dan politisi yang dengan enteng membawa agama untuk memobilisasi massa dan melegitimasi tindakan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran agama.

Dengan media sosial kaum intoleran tidak hanya menyebarkan konten negatif, tapi juga berhasil meraih banyak penggemar dan pengikut yang perlahan turut menjadi penghamba ujaran kebencian, berita bohong dan sebagainya. Media sosial menjadi semacam perguruan untuk menciptakan makhluk-makhluk intoleran baru. Pola seperti ini terus berulang dan berkembang biak sehingga berdampak pada menguatnya intoleransi.

Melihat kenyataan ini semestinya pemerintah dan pemangku kepentingan terutama Kementerian Agama berpikir mendalam atas apa yang sedang terjadi pada kerukunan atau toleransi kita saat ini. Intoleransi adalah bibit unggul radikalisme dan radikalisme adalah penyokong utama terorisme.

Gerakan Sapu Bersih

Berandai-andai menjadi Menteri Agama, sebuah terobosan perlu dihadirkan untuk mengatasi berkembangnya intoleransi yang  diperkuat oleh konten negatif di media sosial. Gerakan bersama untuk menyapu bersih intoleransi sebaiknya dipertimbangkan. Strateginya kurang lebih sebagai berikut.

Pertama, dimulai dengan mendorong masyarakat agar lebih memiliki kemauan untuk menghalau intoleransi di media sosial. Sebenarnya caranya tidak terlalu sulit karena media sosial seperti twitter dan instagram telah menyediakan fitur pelaporan konten-konten negatif. Fitur ini bisa dimanfaatkan dengan mudah.

Pengalaman menunjukkan bahwa melaporkan konten negatif di media sosial secara mandiri mampu membuahkan hasil. Asalkan bukti dan alasan yang disodorkan akurat, twitter dan instagram akan menindaklanjuti dengan mengirimkan peringatan kepada akun terlapor dan menghapus konten-konten negatif yang diunggah. Pelaporan konten negatif juga bisa dilakukan melalui saluran lain, seperti aduankonten.id yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Mengingat masyarakat saat ini belum cukup memiliki inisiatif untuk melaporkan konten-konten negatif, maka peran Menteri Agama atau Kementerian Agama menjadi sangat dibutuhkan dalam mengedukasi masyarakat agar mau memaksimalkan fitur-fitur dan layanan pelaporan sehingga bisa lebih berdaya menghalau konten negatif. 

Kementerian Agama juga perlu menggedor kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap dampak negatif dari banyaknya ujaran kebencian, berita bohong, dan propaganda yang mengancam kehidupan bersama. Selanjutnya Menteri Agama bersama Menteri Komunikasi dan Informatika membentuk gugus tugas bersama. Gugus tugas ini bekerja 24 jam dengan penyedia media sosial untuk menangani konten-konten negatif sebelum menyebar lebih luas.

Kedua, gerakan sapu bersih intoleransi mutlak disertai penegakan hukum yang lebih tegas. Selama ini kelompok-kelompok intoleran dan ujaran-ujarannya di media sosial belum ditangani secara serius. Belum ada penegakan hukum yang konsisten dan memberikan efek jera kepada para pengabdi ujaran kebencian, produsen berita bohong, dan buzzer propaganda. 

Disadari atau tidak, pembiaran selama ini telah memperkuat keberadaan kelompok-kelompok intoleran dan melegitimasi tindakan-tindakan mereka di media sosial. Ironisnya, ada produsen dan penyebar konten negatif di media sosial yang leluasa menampilkan diri di depan publik, tampil di TV sebagai pesohor atau pakar, dan terus mengulangi perbuatannya tanpa tersentuh hukum.

Seorang Menteri Agama memang perlu bersikap teduh dan moderat. Tapi dalam menghadapi ancaman perpecahan harus bertindak tegas. Sebagai bagian dari pemerintah, Menteri Agama perlu berani mendorong penegakan hukum terhadap para penjahat di media sosial. Sekadar himbauan saja tidak cukup. Semakin banyak konten negatif di media sosial dan tidak sulit sebenarnya mengidentifikasi tangan siapa yang berbuat. Namun, berapa banyak yang sudah ditindak?

Setiap orang harus mau melaporkan konten-konten negatif di media sosial (dok. pri).
Setiap orang harus mau melaporkan konten-konten negatif di media sosial (dok. pri).
Ketiga, berangkat dari fakta bahwa konten negatif seperti ujaran kebencian dan berita bohong lebih cepat menyebar serta banyak orang masih lebih mudah percaya berita bohong, maka gerakan sapu bersih intoleransi juga ditujukan untuk membalik fenomena media sosial tersebut. 

Menteri Agama atau Kementerian Agama perlu menempuh cara masif dan kreatif. Salah satunya memfasilitasi produksi konten-konten baik, seperti video-video pendek yang berisi ceramah kebaikan dengan mengajak para tokoh muda dan ulama moderat. Selanjutnya video-video tersebut diunggah dan disebarkan secara rutin di media sosial. Menteri Agama, para tokoh, serta ulama-ulama moderat perlu lebih sering "tampil" di media sosial untuk memberikan pencerahan dan moderasi.

Cara tersebut bisa menutupi kekurangan layanan pengecekan berita bohong dan pelaporan konten negatif yang belum maksimal. Namun demikian ada yang lebih diharapkan dari semakin banyaknya konten baik di media sosial, yakni mencegah bahaya atas pemahaman agama yang dikecohkan dan dimanipulasi oleh konten-konten negatif.

Keempat, sebagai gerakan berkelanjutan, gerakan sapu bersih intoleransi disertai revitalisasi dialog agama untuk merekatkan lagi masyarakat yang terbelah akibat pengaruh konten negatif di media sosial. Semua pihak diajak untuk melepaskan balutan kemunafikan yang selama ini diam-diam menyisakan rasa saling tidak nyaman karena setiap pihak merasa sebagai korban dan setiap agama memiliki klaim kebenaran masing-masing.

Dialog harus benar-benar dilandasi kejujuran pada tingkat pemahaman yang paling dalam dan dibingkai sebagai ruang untuk saling memahami bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai ajaran yang khas dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, penting bagi seorang Menteri Agama untuk aktif terlibat dan mendorong dialog antar agama dijalankan dengan prinsip kesetaraan.

Memang benar toleransi dan kerukunan masih bisa dijumpai pada masyarakat di akar rumput. Namun, sejumlah kejadian juga menunjukkan bahwa kehidupan akar rumput rentan bergejolak manakala identitas agama dibenturkan dan media sosial membuatnya bertambah buruk. Dengan demikian dialog antar agama juga harus menyentuh relung kehidupan akar rumput. Selain karena masalah intoleransi sering berlarut-larut, pendekatan sampai akar rumput juga penting karena kesepahaman seringkali hanya ada pada tokoh-tokohnya saja, belum menyentuh relung kehidupan masyarakat di bawah.

Tampaknya sekarang kita perlu bertanya dengan suara yang lebih keras: apakah kita masih menginginkan masa depan untuk bangsa ini? Jika iya, tidak ada pilihan lain kecuali bergerak bersama menyapu bersih intoleransi agar tak terus mengotori dan merusak kehidupan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun