Berulang kali perut anak muda itu berkelukuk, suaranya terdengar oleh simbok bakul. Â Wanita tua itu tersenyum, pelanggan barunya benar-benar telah lapar.
Setelah selesai simbok bakul mengulurkan pesanan nasi itu kepada Sembada. Â Sembada menerimanya dengan mulut menganga. Nasi pecel di dalam pincuk daun pisang itu sangat menggodanya. Â Setelah mencuci tangannya dengan air dalam kendi yang sudah tersedia di meja, ia segera menikmati nasi pecelnya dengan lahap.
"Angger tidak pernah makan di sini. Â Dari mana asal angger ?"
"Jauh Mbok. Â Aku dari Cemara Sewu, padepokan yang ada di lereng Gunung Wilis sana"
"Woooh jauh sekali. Â Datang ke bekas kotaraja mencari saudaranya kah ?"
"Enggak Mbok. Â Hanya ingin tahu saja keadaannya sekarang. Â Dulu aku juga pernah tinggal di kotaraja ini."
"Benarkah ? Â Di mana ? " Â Tanya simbok bakul sambil meletakkan bumbung bambu wadah wedang sere pesanan Sembada.
"Aku tinggal di dalem katumenggungan Gajah Alit. Â Aku anak emban pamomong putri kembarnya, Sekarsari dan Sekararum. Â Simbokku bernama Nyai Kenanga."
"Nyai Kenanga istrinya Wirapati ? Â Lelaki pemimpin prajurit pengawal Tumenggung Gajah Alit."
"Benar Mbok. Â Simbok kenal ?"
"Ya kenal Lee. Â Wirapati jika tidak salah anaknya hanya seorang. Â Beberapa bulan sebelum terjadi bencana di kotaraja anak itu diungsikan, karena takut terjadi bencana, setelah mendengar Songsong Tunggul Naga hilang dari istana."