Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua memulung kata mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Apa Dengan "Tot Tot Wuk Wuk"?

20 September 2025   21:36 Diperbarui: 20 September 2025   21:36 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tot Tot Wuk Wuk": Perlawanan Sunyi Masyarakat Terhadap Arogansi Jalanan Pejabat

Di jalan-jalan kota Indonesia, suara "tot tot wuk wuk" dari sirine pengawal pejabat telah menjadi simbol yang memecah suasana. Tidak sedikit masyarakat merasa suara itu bukan lagi sekadar tanda "prioritas", melainkan lambang arogansi: pejabat yang ingin jalannya selalu mulus, sementara rakyat harus berhenti, menepi, bahkan seringkali terpaksa terganggu keselamatannya.

Ironis, di negeri demokrasi yang konon menjunjung kesetaraan, jalan raya masih membedakan siapa yang berhak melaju cepat dan siapa yang harus menyingkir.

Mengapa Masyarakat Resah?

Pertama, jalan raya adalah ruang publik, milik bersama. Tidak ada alasan seseorang---meski berstatus pejabat tinggi---memiliki hak istimewa lebih dari rakyat biasa, kecuali dalam keadaan darurat. Ketika jalan macet, masyarakat harus sabar antre; lalu mengapa pejabat bisa seenaknya diprioritaskan dengan pengawalan, bahkan saat hanya pergi makan siang atau menghadiri acara pribadi?

Kedua, suara sirine yang bising semakin dipandang sebagai simbol kesenjangan. Di saat rakyat harus berdesak-desakan dalam transportasi umum, pejabat melintas dengan kawalan, membuka jalur, seakan-akan menegaskan: "Saya berbeda dengan kalian."

Gelombang Perlawanan Sunyi

Respon masyarakat muncul dalam bentuk satire: menirukan bunyi sirine dengan "tot tot wuk wuk" di media sosial, menjadi sindiran kolektif. Itu bukan sekadar lelucon, melainkan ekspresi perlawanan simbolik. Sebuah cara rakyat menyuarakan keresahan tanpa harus turun ke jalan.

Seruan makin keras: "Pejabat tak perlu dikawal!" Kecuali presiden dan wakil presiden, atau kondisi darurat keamanan, rakyat menilai pejabat publik seharusnya hidup normal, merasakan kemacetan yang sama, antrean yang sama, jalan berlubang yang sama. Dengan begitu, mereka bisa benar-benar memahami realita yang dihadapi rakyat sehari-hari.

Saatnya Pejabat Menyadari

Jika pejabat terus memaksakan privilese di jalanan, jarak psikologis antara rakyat dan penguasa akan makin lebar. Publik tidak hanya terganggu oleh suara sirine, tapi juga kehilangan respek. Padahal, legitimasi seorang pejabat bukan datang dari sirine pengawalan, melainkan dari kepercayaan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun