Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tatapan Kembang Sepatu

20 September 2020   16:36 Diperbarui: 20 September 2020   16:44 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kembang Sepatu (Foto Wahyu Sapta).

"Hai, kosong kan? Boleh saya duduk di sini?"

Seorang lelaki berkulit sawo matang berambut gondrong yang dikucir ke belakang meminta izin agar bisa duduk. Kutaksir usianya kira-kira duapuluh sembilan menjelang tigapuluh. 

Tanpa menjawab aku bergeser ke pinggir. Secara tidak langsung ia memaksaku memberi tempat duduk lebih lapang. Anjuran jaga jarak memang membuat cemas yang berlebihan untuk saat ini.

"Tempat ini lebih sepi dari biasanya." katanya.

Aku menoleh. Perkataannya barusan membuatku sedikit mengalihkan perhatian dari layar ponsel. Hanya beberapa detik, kemudian mataku kembali ke layar ponsel. Aku sedang menulis chat, tanggung jika kupenggal. Kemudian beralih kembali kepadanya.

"Oya, sudah biasa duduk di taman ini?"

"Baru tiga hari," jawabnya.

"Saya malah baru dua hari." timpalku.

"Menunggu seseorang?"

Aku terjengah, mengapa juga ia menanyakan itu. Lalu mengangguk adalah jawaban aman agar tidak ada pertanyaan lanjutan. 

"Masih lama?"

"Mengapa?"

"Jika masih lama, paling tidak saya ada teman untuk mengobrol sementara waktu, sebelum anda bertemu seseorang. Kenalkan, saya Aksan," Tangannya diulurkan kepadaku. Aku menolak secara halus jabatan tangannya sambil mengatakan maaf.

"O iya, saya lupa. Covid ya?"

Aku mengangguk dan menyebutkan nama. 

"Covid memang merubah segalanya. Tatanan yang ada menjadi porak poranda. Bukan itu saja, covid memaksaku tinggal di sini. Seperti anda, bukan? Kapan masuk?"

"Empat hari lalu. Kemarin saya masih berbaring. Saya baru tahu kalau di sini ada taman yang indah." jawabku. "Lalu, kapan anda masuk?" tanyaku. 

"Sama seperti anda, empat hari lalu."

Kemudian hening. Ia memandang arah ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku membiarkannya. Aku sendiri sedang mengobrol dengan Maya sahabatku lewat WA. Ia yang selalu mendukungku, memberikan semangat agar cepat sembuh. Tiap jam bertanya bagaimana keadaanku. 

Berada di tempat ini memang terasa menyiksa, tetapi aku berusaha menikmatinya. Jika tak begini, mana bisa membiarkan diri sendiri untuk beristirahat? Salahku juga, mengapa terlalu sibuk. Memforsir diri untuk kepentingan orang lain tanpa memperdulikan kesehatan sendiri. 

Aku menghela nafas. Di kejauhan tampak kembang sepatu yang nyaris mekar, bagai menatapku tajam. Berkelopak putih terang dan berputik kuning. Ada beberapa tangkai calon bunga yang masih kuncup di sampingnya. 

Ingatanku menyeruak pada Seno. Ia dulu pernah memberikan bibit kembang sepatu dan kutanam dengan sepenuh hati. Hingga bunga itu menjadi pohon yang kuat dan tegar. Sepertiku, yang memaksa diri agar tegar.

"Ini untukmu, Dina. Rawatlah. Sebagai tanda cinta kasihku, meski aku tak bisa memilikimu." 

Aku terseguk sendu. Ia mengucapkan salam perpisahan. Keesokan harinya, Seno pergi jauh. Sejauh kecewanya karena perbedaan yang tak bisa dipersatukan antara aku dan dia. Kadangkala aku masih mengutuk perbedaan itu. Mengapa harus ada, hingga menjauhkan cinta yang kubina bersama Seno tiga tahun lamanya.

Aku kemudian tenggelam dalam pekerjaan. Tak tanggung-tanggung, karierku cepat menanjak. Tetapi apapun itu, tak cukup melupakan keberadaan Seno dalam pikiranku. Hingga suatu hari kudengar Seno menikah dengan pilihan orangtuanya. Aku ikut berbahagia meski hatiku tercabik-cabik.

"Anda melamun? Memikirkan seseorang?"

"Oh, tidak. Silakan jika anda melanjutkan bercerita."

"Masih lama menunggunya? Boleh kan saya bercerita? Bisa saja kapan saja, waktu ini tak berpihak pada kita. Apa salahnya jika kita saling bercerita, walaupun saya baru mengenal anda. Saya merasa nyaman. Hei, bolehkah saya menyebut dengan aku saja? Rasanya tak enak. Dan anda kupanggil Dina?" Aku mengangguk. Biar saja. Dalam kondisi begini, siapapun bisa menjadi teman walau baru mengenal. 

"Sebelum ini, aku belum pernah mengungkapnya pada seseorang. Bahkan aku tak punya sahabat yang bisa kuajak berbicara." Ia mulai berkisah.

"Lalu?"

"Aku pernah mengenal gadis. Baik hatinya. Kemudian kami saling jatuh cinta dan jadian. Tetapi tak lama. Ia sakit kemudian meninggalkan aku untuk selama-lamanya."

"Oh, ikut berduka."

"Tentu saja aku sangat bersedih, lama baru bisa move on, kemudian mengenal kembali dengan seseorang. Ia baik. Ia menyatakan suka kepadaku. Ia bagai membawa sebonggah kebahagiaan. Cinta yang ia bawa, menggantikan cintaku sebelumnya."

"Lalu?"

"Ternyata memang belum waktunya. Orangtuanya memaksa berpisah denganku. Apalah aku ini. Seorang seniman yang tak bisa diandalkan dalam bidang finansial. Lalu ia memutuskanku, karena ia lebih patuh pada orangtuanya. Aku tak menyalahkannya. Seharusnya memang begitu," 

Aksan menghela nafas panjang. Lalu meneruskan ceritanya.

"Sakit hatiku, Din. Dan sakit hati itu memacuku untuk menggila dalam berkarya."

Ya, ya, aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan Aksan. Tetapi ia menganggapku lebih dari sekedar sahabat lama. Ceritanya mengalir tanpa sungkan. Atau karena kondisi dan situasi di sini yang menyebabkan menjadi cepat akrab? Senasib dan sama-sama terpapar? Merasa bahwa nyawa ini sedang dipertaruhkan antara ada dan tiada. Entah esok atau lusa. Atau bisa jadi keluar dari tempat isolasi dengan selamat.

"Karyaku menggila hingga banyak yang menyukainya. Lukisanku banyak diburu." 

"Hei, kamu pelukis, ya? Apakah kamu ini Aksan Pribadi? Aku pernah mendengarnya, tetapi tak begitu mengenalnya. Hanya sekilas."

"Tak apa. Aku memang tak suka publikasi." katanya sambil tertawa berderai.

"Sombong kamu ya," godaku. 

"Aku memang sukses, Din. Tetapi itu tak mengembalikan gadisku kembali. Karena ia telah dimiliki orang lain. Dan itu tak mungkin. Karena ia telah meninggal ketika melahirkan bayinya. Sedih sekali rasanya. Pilu dan nyeri di dada. Aku masih mencintainya."

"Maafkan aku. Ikut berduka."

"Sebulan lalu kejadiannya. Aku sungguh sedih. Pilu itulah yang menyebabkan aku mudah terpapar. Hingga aku bertemu denganmu saat ini. Kau mirip dengannya." 

Sepuluh detik mata kami beradu. Lantas berpisah. Begitu saja. Ya, begitu saja tanpa bertukar nomor telepon. Entahlah. Apakah bisa bertemu kembali dengannya esok hari atau tidak. Waktu telah memaksaku untuk kembali masuk ke kamar isolasi.

Teringat kata terakhir yang ia ucapkan. 

"Lalu, siapa yang kamu tunggu?"

"Mekarnya kembang sepatu." jawabku.

Semarang, 20 September 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun