Mohon tunggu...
Rika Apriani
Rika Apriani Mohon Tunggu... Novelis - Novelis. Nama Pena : Zanetta Jeanne.

Creating my own imaginary world through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memori Sepatu Bolong

15 Maret 2024   13:13 Diperbarui: 15 Maret 2024   13:17 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com / Chris F

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-17.

Tiba-tiba aku terbawa ke masa silam, sepuluh tahun yang lalu. Tepat di ulang tahunnya yang ke-7, seorang gadis cilik yang centil dan manja meniup lilin-lilin warna-warni di kue ulang tahunnya yang berhiaskan karakter Cinderella, princess Disney kesukaannya. Masih kuingat saat itu, ia tinggal di rumah besar berwarna putih berlantai dua, yang berdiri megah di antara rumah-rumah sederhana di kampung kami. Putri tunggal dari keluarga pengusaha di bidang transportasi, yang keberadaannya langsung menjadi primadona cilik di lingkungan kampung.

Di kampung kami jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ada anak-anak merayakan ulang tahunnya secara khusus seperti gadis itu. Hal ini membuat kami anak-anak kampung menjadi sangat gembira ketika tahu bahwa kami semua diundang ke pesta ulang tahun ala orang-orang kaya yang selama ini hanya bisa kami tonton di sinetron televisi. Berbekal rasa ingin tahu yang besar, anak-anak kampung berbondong-bondong untuk datang ke pesta. Dengan menggunakan pakaian terbagusnya, mereka begitu bersemangat pergi ke sana.

Begitu pula aku, sudah sejak sejam sebelum pesta aku sudah berkutat dengan isi lemari plastik pakaianku. Aku sungguh bingung hendak mengenakan baju apa. Bukan gara-gara terlalu banyak pilihan, namun sejujurnya justru karena sedikit sekali pakaian yang aku punya. Keluargaku bukan dari golongan berada. Ayahku hanya seorang tukang becak dan ibuku cuma ibu rumah tangga yang bekerja sampingan mencuci baju tetangga-tetangga yang membutuhkan jasanya. Termasuk keluarga kaya itu.

“Udahlah Di, pake yang ada aja di situ. Mbak Ica juga udah biasa lihat kamu pakai baju gembel gitu. Ga usah sok-sok’an pake baju bagus kayak yang lain. Wong kita keluarga miskin, ya miskin aja. Mau gimana lagi.” Ibuku yang bawel tapi baik hati itu mengomel saat melihatku lama diam terpaku di depan lemari baju.

Akhirnya kutarik baju dan celana seadanya dari tumpukan pakaian yang bisa dihitung dengan jari itu. Setelah menyisir sekadarnya aku pun berlari menuju rumah Mbak Ica. Sebenarnya usia kami tidak terpaut jauh. Bahkan kalau dipikir-pikir usiaku lebih tua beberapa bulan darinya. Namun dengan alasan kesopanan dan keluarga kami menghormati keluarga gadis itu, maka keluarga kami menyebut gadis cilik tersebut dengan embel-embel “Mbak” di depannya.

Sesampaiku di rumahnya, suasana sudah ramai meriah. Ruangan telah dipenuhi orang-orang yang mengelilingi Mbak Ica di tengah-tengah dengan kue ulang tahunnya yang berwarna merah muda. Sungguh serasi dengan warna bajunya saat itu. Mereka mulai menyanyikan lagu ulang tahun buat gadis cantik tersebut. Sementara aku hanya berani berdiri jauh di belakang kerumunan orang-orang. Aku tidak percaya diri dengan pakaian yang kukenakan. Terlebih lagi aku baru menyadari bahwa sepatu milikku satu-satunya yang sebelah kiri ada bolong di ujungnya. Sepatu yang sudah terlalu lama dipakai untuk menopang berat tubuhku siang dan malam. Aku makin tambah minder karenanya.

Seketika aku memutuskan untuk pulang ke rumah saja daripada menahan rasa malu lebih lama lagi. Ketika aku membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggil namaku. “Adi! Adi!” Semua orang yang ada di ruangan sontak menengok ke arahku. Aku ragu-ragu untuk menolehkan kepala ke arah suara yang telah menghentikan langkahku. Terlihat olehku Mbak Ica dengan senyumnya yang teramat jelita melambaikan tangannya yang mungil nan lentik menyuruhku menghampirinya. Tangannya yang putih halus memegang piring kecil berisi potongan kue tart ulang tahunnya yang kemudian langsung disodorkan ke hadapanku. Seketika aku jengah. Sama sekali aku tak menyangka akan menerima potongan kue spesial darinya setelah pemberian kepada mama papanya.

Saat itu aku merasa amat bahagia. Bagaikan terbang ke langit ketujuh. Kue tart ulang tahun itu terasa sangat manis di lidahku. Bagaikan candu yang memabukkan. Sampai-sampai aku lupa akan baju ala kadarnya yang kukenakan. Bahkan membuatku tak ingat lagi akan sepatu bolong yang aku pakai.

“Bang, Pasar Mede ya.” Tiba-tiba seorang ibu beranjak naik ke jok di hadapanku. Lamunanku akan gadis cilik idola masa kanak-kanakku pun buyar. Aku mulai mengayuh becakku di tengah-tengah teriknya matahari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun