Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bintang di Langit nan Abu-abu

3 Maret 2020   07:57 Diperbarui: 3 Maret 2020   08:02 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Tulisan ini sudah masuk dalam catatan di ponselnya. Ia takut jika kelupaan. Padahal, hari itu adalah hari yang penting baginya. Ia akan performa di depan banyak orang, untuk menyajikan karya musiknya.

Ada perasaan senang menggelegak dalam dirinya yang tak tertahankan. Bagai aliran sungai, deras, dan menghentak-hentak. 

Itu mungkin karena peristiwa awal tahun baru lalu. Secara kasat mata memang tak jelas, tetapi isyarat memberikan kejelasan. Dan mereka tampak menyukai, menerima dengan baik karya musik miliknya. 

Karya musik yang diciptakannya, sungguh menyentuh hati banyak orang. Sebuah roh seakan mengiringi permainan musik itu, hingga ia cepat mendapat banyak penggemar.

Tak dapat dipungkiri, segala kemampuan ia tumpahkan di sana. Ia tak ingin tampil asal-asalan. Meskipun dengan segala kegilaan dan cucuran air mata.

Jika ia mengingat pada saat itu. Betapa perjuangan untuk meraih sesuatu hingga menjadi saat sekarang. Tak mudah. Tak mungkin ia lupakan.


Ia akhirnya meraih gelar pemenang favorit pemilihan ajang mussik bergengsi di acara tingkat nasional.

***

Tiga tahun lalu...

Waktu sore menjelang rembang petang. Dunia berwarna abu-abu. Kabut datang tiba-tiba. Dingin menerpa. Ada beberapa tetes air, serupa embun. Sedikit basah. Hangat dan dingin datang bersamaan. Hari mulai redup. Matahari sebentar lagi menghilang. Gelap akan datang. 

Lalu datang tetes lembut hujan seperti alunan irama jazzy, pelan dan ringan. Ia berharap hujan akan segera berhenti, karena sebentar lagi akan pergi. 

Angin tiba-tiba sepoi menghembus dari aliran udara jendela kamar. Ia memejamkan mata, menikmati semilir angin sepoi.

Hujan! Suara tetes air hujan memancar deras dari atas atap rumah. Ah, akhirnya malam ini jadi hujan. Harapan untuk tak hujan tak terkabulkan. Padahal ia harus keluar rumah. Menemui seseorang. 

"Aku harus ke sana dengan menembus hujan yang lumayan deras. Terpaksa harus membawa mantel, agar tak basah." katanya dalam hati.

Ia memacu motor dengan kecepatan sedang. Jalanan yang basah memaksa agar hati-hati. Beberapa lobang jalan rusak tak kelihatan karena genangan air hujan. Jika tak hati-hati bisa terjatuh. Tempat yang akan ia datangi berjarak dua kilometer. Tetapi terasa lambat untuk sampai ke tujuan. 

"Permisi..."

Ia mengetuk pintu perlahan. Butuh waktu lima menit untuk menunggu pinta terbuka. Bahkan ia mengetuknya hingga dua kali lagi.

Pintu membuka. Hanya sepuluh senti. Seseorang mengintipkan kepalanya dari arah dalam.

"Mencari siapa? Tunjukkan identitasmu." 

Ia kemudian mengeluarkan kartu identitas dan berkata bahwa sudah ada janji untuk ke sini.

Sejenak kemudian, pintu membuka lebar dan mempersilakannya masuk. Orang tadi menutupnya kembali.

"Saya mengira anda tidak jadi datang. Anda terlambat lima belas menit."

"Maaf, tadi hujan lumayan deras. Saya butuh hati-hati di jalan."

"Tak apa. Anda sudah ditunggu di dalam."

"Baiklah," jawabnya pendek. 

Hawa dingin menerpa. Ada semacam selasar untuk mencapai ruangan yang dituju. Seseorang yang membukakan pintu tadi hanya membungkam, mengisyaratkan agar mengikuti tanpa banyak pertanyaan. Baiklah. Semua ini ia lakukan demi keinginan yang ia cita-citakan. Meski melewati jalan terjal berliku.

Ia adalah mahasiswa jurusan musik di salah satu universitas di kota ini. Sambil menjalani kuliah yang sudah beberapa semester, ia bekerja sebagai tukang pijat. Bahkan untuk menjadi tukang pijat, ia kursus massage dua bulan lamanya. 

"Ini pekerjaanku, harus profesional." katanya dalam hati.

Ia mempersiapkan semua piranti kebutuhan kerja. Dari peralatan, hingga persiapan mental. Pekerjaannya menuntut kuat. Berbeda dengan pekerjaan lainnya. 

Sebagai seorang pemijat, ia memang beruntung mendapatkan klien yang bisa dibilang diluar rata-rata. Banyak orang terkenal yang menjadi kliennya. Bahkan kadang artis ternama.

"Saya harap nanti anda tak banyak bicara pada bapak. Bicaralah seperlunya." kata orang yang membukakan tadi. Ia mengangguk. "Ya. Aku mengerti. Tak boleh bicara banyak artinya tak banyak pertanyaan." katanya. 

Yang akan dihadapinya adalah orang penting. Ia pasti tak ingin rahasianya diketahui banyak orang. 

Memang pekerjaannya secara personal. Harus datang ke rumah, bertemu langsung. Ia mengerti, biasanya, sebuah rumah menyimpan segala rahasia yang tidak diketahui publik. Meski ia orang populer di luar. 

Ini adalah kali pertama berkunjung ke sini. Sebelumnya ia tidak pernah bertemu. Hanya mengetahuinya lewat media. 

Sesungguhnya, ia sangat mengaguminya. Sehingga ketika mendapat pekerjaan ke sini, sungguh ia merasa beruntung. 

Seseorang yang mengantarnya tadi mempersilakan duduk kemudian meninggalkannya seorang diri.

"Silakan duduk. Dan tunggu, ya. Sebentar lagi Bapak keluar." 

Ia mengangguk. Mengamati apa yang ada di ruangan sebesar ini, seperti berada dalam sebuah impian. Beberapa alat musik terpajang rapi. Berulang-ulang ia mengerjapkan mata. Kagum.

"Seandainya, ini adalah milikku," batinnya.

Tiba-tiba alam bawah sadar menuntun ia menuju sebuah piano yang terletak di pojok ruangan. Lalu duduk, mulai menggerakkan jarinya menyentuh tuts piano. Entahlah, mengapa ia berani. Padahal sebelumnya tak pernah seusil ini.

Alunan nada Symphony No. 40 in G Minor karya Mozart melucur mulus dari jarinya. Keinginan yang menggebu-gebu ketika melihat piano, sungguh bagai menyihir. Kekuatan bakat yang dimiliki sejak dari kecil, memberikan reaksi untuk menyentuh piano.

Pada dentingan terakhir, sebuah applause menggema dari belakang. Spontan ia berdiri, nyaris terjengkang saking kagetnya. Ia lalu meminta maaf. 

"Maafkan, saya telah lancang." Ia sungguh ketakutan. Menunduk merasa bersalah tak meminta izin terlebih dahulu ketika memakai benda milik orang lain.

"Siapa namamu?" tanya seseorang yang akan ditemuinya tadi. Nadanya keras, tetapi tak ada ritme marah ataupun garang. 

Lalu ia sedikit bisa bernafas lega dan menjawab, "Nama saya Noah, Pak. Maafkan saya. Sungguh, saya tidak tahu mengapa bisa berbuat selancang ini," katanya bernada penuh penyesalan.

"Sudahlah, tidak mengapa. Permainan piano kamu bagus sekali. Kamu sangat berbakat." 

"Harusnya saya memberikan terapi pijat kepada bapak, bukan lancang bermain piano,"

Keesokan harinya, Noah datang kembali ke tempat ini. Bukan sebagai pemijat, melainkan belajar musik. 

Dr Surya Abadi seorang musisi terkenal, menempanya hingga menjelma menjadi pemusik yang patut diperhitungan di negeri ini. Bagai bintang di langit abu-abu menjelang malam yang memancar terang.

Semarang, 3 Maret 2020.


Tim Srikandi 4.0 ==> Ire Rosana Ullail, Listhia H. Rahman, Wahyu Sapta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun