Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bintang di Langit nan Abu-abu

3 Maret 2020   07:57 Diperbarui: 3 Maret 2020   08:02 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah kali pertama berkunjung ke sini. Sebelumnya ia tidak pernah bertemu. Hanya mengetahuinya lewat media. 

Sesungguhnya, ia sangat mengaguminya. Sehingga ketika mendapat pekerjaan ke sini, sungguh ia merasa beruntung. 

Seseorang yang mengantarnya tadi mempersilakan duduk kemudian meninggalkannya seorang diri.

"Silakan duduk. Dan tunggu, ya. Sebentar lagi Bapak keluar." 

Ia mengangguk. Mengamati apa yang ada di ruangan sebesar ini, seperti berada dalam sebuah impian. Beberapa alat musik terpajang rapi. Berulang-ulang ia mengerjapkan mata. Kagum.

"Seandainya, ini adalah milikku," batinnya.

Tiba-tiba alam bawah sadar menuntun ia menuju sebuah piano yang terletak di pojok ruangan. Lalu duduk, mulai menggerakkan jarinya menyentuh tuts piano. Entahlah, mengapa ia berani. Padahal sebelumnya tak pernah seusil ini.

Alunan nada Symphony No. 40 in G Minor karya Mozart melucur mulus dari jarinya. Keinginan yang menggebu-gebu ketika melihat piano, sungguh bagai menyihir. Kekuatan bakat yang dimiliki sejak dari kecil, memberikan reaksi untuk menyentuh piano.

Pada dentingan terakhir, sebuah applause menggema dari belakang. Spontan ia berdiri, nyaris terjengkang saking kagetnya. Ia lalu meminta maaf. 

"Maafkan, saya telah lancang." Ia sungguh ketakutan. Menunduk merasa bersalah tak meminta izin terlebih dahulu ketika memakai benda milik orang lain.

"Siapa namamu?" tanya seseorang yang akan ditemuinya tadi. Nadanya keras, tetapi tak ada ritme marah ataupun garang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun