Mohon tunggu...
Viyazhaz
Viyazhaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis cerpen dan menonton drama. Isi artikel penuh hal random yang ada di pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kantin Bawah Tanah

18 November 2022   14:37 Diperbarui: 18 November 2022   14:43 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Renata Dwi Saputri. Aku tidak terlalu peduli dengan namanya makhluk gaib.

Menurutku ini dunia modern, tetapi masih saja banyak yang percaya dengan hal mistis. Tentu saja hal itu terjadi di sekolah ku yang diceritakan secara turun-temurun. 

"Dulu sekolah kita ini bekas peninggalan Belanda. Banyak para pahlawan, noni dan sinyo Belanda yang meninggal pada penyerangan waktu itu."

Aku yang mendengar hanya diam. Matanya menatap malas sang guru yang menjelaskan di depan. 

Matahari terlihat agak terik, tetapi sang guru masih semangat untuk berpidato. Ini sudah kesekian kalinya sang guru menceritakan hal yang sama.

"Kalian harus menjaga sikap selama di sekolah. Jangan ada yang berucap kasar apalagi menantang hal gaib jika kalian tidak ingin menanggung resiko."

Para murid menjawab dengan suara malas. Mereka terlalu lelah untuk menantikan upacara selesai.

"Rena kamu percaya tidak sama cerita mistis itu?" Yuni nama gadis yang menanyakan kepadaku. 

"Aku juga tidak yakin, Yun. Mereka mungkin sedang mengarang cerita. Buktinya sekolah kita aman saja," jawabku dengan menatap arah timur laut.

Yuni menatapku dengan tersenyum tipis. Ia terlihat sabar menghadapi masalah diriku. Memang aku agak susah jika dikasih tahu tentang makhluk tak kasat mata.

"Rena yang cantik dan manis. Coba kamu ingat lagi kejadian minggu lalu. Waktu itu banyak yang kerasukan, Re." Yuni menatap lurus mata Rena. Dibesarkan di kota besar dengan orang tua yang selalu berpikir logika membuat Rena mengikuti jejak orang tuanya. 

"Lagipula kita hidup berdampingan dengan makhluk gaib. Jadi sudah seharusnya menjaga adab. Apalagi disini desa bukan kota tempat lahir kamu," sambung Yuni melihat ekspresi bingung dari Rena.

Rena ingin rasanya menjawab. Jika itu hanya sebuah rekayasa ataupun pihak sekolah memang sengaja membuat murid takut bagaimana(?)

Yuni tersenyum. Tangannya menepuk pundak Rena. "Aku tahu kamu masih tidak percaya. Setidaknya hormati adat di sini, ya. Jangan bertindak gegabah."

Rena mengangguk kepalanya dengan pelan. Sekali lagi ia menatap ke arah timur laut dimana ada sebuah cerita tersendiri. 

"Aku masih ragu," batinku.

Malamnya aku menatap layar ponsel dengan tertawa kecil. Mereka masih saja terlihat agak kuno apalagi terlihat berlari dengan membawa kopi hitam.

"Well, mereka terlalu mempercayai mitos." 

Aku menutup pembicaraan digrup kelasnya. Mereka terlalu takut dengan semua itu. Bukankah seharusnya hanya takut dengan Tuhan.

Aku membaca beberapa pesan dari teman-temannya. Beberapa dari mereka hanya menanyakan tugas. 

Sebenarnya aku bisa saja memberikan mereka jawaban. Namun, buat apa jika pada akhirnya nilai mereka yang akan lebih tinggi. Hal itu sangat disayangkan menurutku.

Ting!

Aku mendapatkan sebuah pesan misterius. Pesan yang berisi mengajaknya berkumpul di depan kantin bawah.

"Kurang kerjaan sekali," gumamku dengan menghapus isi pesan itu. Bukankah itu sedikit aneh tiba-tiba mengajak diriku yang tidak tahu apapun.

Bugh!

Aku duga diluar ada orang yang bertengkar. Aku berlari dengan raut wajah khawatir. Jika benar ada perkelahian maka akan membuat diriku susah.

Malam merah ...

Malam penuh darah ...

Malam dengan gemuruh ...

Dimalam cahaya rembulan ...

Penuh kematian ...

Aku hanya tertegun menatap tulisan berdarah yang dilukis di kaca rumahku. Hal mistis yang tidak bisa membuatku takut sama sekali.

"Ayolah jangan main-main!" seruan yang aku berikan kepada orang jahil.

Lampu rumahku menjadi mati. Aku kembali mendapatkan pesan yang memerintahkan untuk ke kantin bawah tanah sekolah.

Aku berjalan melewati gelapnya malam. Rumahku sangat hening apalagi kedua orang tuaku tidak berada di rumah. 

Entah apa yang terjadi. Rasanya aku sedikit penasaran dengan mitos di sekolah. Aku bahkan tidak peduli angin malam menembus tulang rusukku. 

Aku hanya ingin membuktikan jika yang dikatakan mereka itu salah. Mereka hanya orang pengecut yang berlindung dibalik kata hantu.

Pada akhirnya aku sampai di depan kantin utama. Aku cukup heran melihat beberapa orang yang juga berada di sini.

"Kalian kenapa bisa ada di sini?" tanyaku yang cukup penasaran. 

"Dih, culun banget lo! Ngapain coba pakai bahasa gitu?" 

"Maaf, ya. Kakak bicara seperti itu sama saja menghina bahasa resmi Indonesia." Aku hanya tersenyum melihat raut wajah kesal kakak kelasnya. 

"Siapa coba yang kuker teror gue? Pakai darah pula."

Aku hanya bisa diam. Murid sekolah aku juga sedang mendapatkan teror. Namun, mengapa mereka tidak terlihat takut. Bukankah seharusnya mereka takut(?)

"Hah, gue nggak takut!"

Seorang cowok segera turun tangga menuju kantin bawah. Beberapa orang juga ikut turun dengan berbondong.

Aku dapat menyimpulkan jika orang yang diundang merupakan murid pemberani alias tidak percaya hal mistis. Aku cukup terkejut, tetapi senang karena dapat orang dengan pemikiran sama.

Aku berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Kantin bawah memiliki pencahayaan yang minim bahkan berdebu untuk ukuran sekolahnya. 

"Btw, ini cuman ruang kosong. Apa yang salah?!"

Bruk!

Sebuah kursi hancur mengenai dinding. Aku hanya mengelus dada karena terkejut mendengar itu.

"Hihihi ..."

Aku melihat semuanya menjadi diam. Namun, ada juga yang kesal dengan suara itu. Aku semakin terkejut saat cowok itu membanting meja.

"Kalian akan musnah!"

Aku menutup mata waktu lampu yang bersinar sangat terang. Lampu itu tidak lama pecah diiringi suara tawa.

Aku membuka mata perlahan. Mataku sedikit tidak bisa melihat karena cahaya tadi. 

Suara langkah kaki diseret terdengar dengan jelas. Aku merasakan ada hawa dingin di depan wajahku.

"Zij bent de eerste."

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Aku melihat seorang noni Belanda dengan leher berlumuran darah. 

Aku mengerutkan kening rasanya sedikit tidak percaya. Aku memukul kepala wanita itu dengan keras, tetapi tangannya tembus begitu saja.

"Hihihi, je sterft!"

Aku berlari menuju murid lain. Mereka sama seperti dirinya yang tidak percaya dengan apa yang dilihat.

"Mbak udah, deh. Jangan main-main lagi! Lo dibayar berapa, sih?"

Seorang cewek mulai melempar air yang tidak diketahui apa isinya. Seketika noni Belanda itu berteriak dengan mata melotot. 

"Kak! Hati-hati matanya lepas!"

"Iyuh, lepas beneran!"

Aku menatap sekumpulan murid aneh dengan tidak percaya. Kami tidak takut dengan semua ini, tetapi itu cukup mengaggumkan bisa bercanda dikondisi sekarang. 

Suara teriakan semakin terdengar dengan keras. Aku menutup telinga yang rasanya ingin pecah. 

Tiba-tiba darah mulai keluar dari mata, hidung, mulut dan telinga. Aku yang sudah tidak tahan akhirnya terjatuh dengan mata menghitam. 

Aku kembali terbangun dengan beberapa orang yang terdiam. Tatapan mata mereka terlihat kosong seperti kehilangan jiwanya.

Aku menatap sekeliling ruangan. Ini bukan ruangan malam tadi melainkan aula sekolah. 

"Rena aku sudah bilang. Jika di dunia ini kita tidak tinggal sendirian. Ada teman makhluk tak kasat mata yang berada di dunia ini," ucap Yuni dengan menghela napas. 

"Iya, Yun. Aku hanya tidak menyangka jika itu benar-benar ada." Aku menatap ke arah kantin bawah yang kembali dikunci. Lalu sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa tukang teror mereka malam tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun