Namun, dalam sistem sekuler, ayat ini tidak dijadikan pedoman. Yang berlaku justru kebebasan manusia untuk menentukan sendiri jalannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang menganggap kohabitasi sebagai hal wajar, meskipun sejatinya itu adalah kehancuran yang tertunda.
Buah Pahit Liberalisasi
Kasus mutilasi di Surabaya hanyalah fenomena gunung es. Kita dapat menelusuri banyak kasus serupa, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di luar negeri, terutama di negara-negara Barat, fenomena kohabitasi telah lama menjadi budaya. Angka perceraian tinggi, kekerasan rumah tangga meningkat, anak-anak lahir tanpa ayah, hingga persoalan mental yang menumpuk. Semua itu bermuara pada liberalisasi pergaulan.
Di Indonesia, tren serupa semakin marak. Fenomena pacaran terbuka, kos campur, hingga kohabitasi menunjukkan betapa nilai-nilai sekularisme telah merasuk ke dalam sendi kehidupan generasi muda. Bahkan dunia hiburan dan media sering menormalisasi hal itu dengan balutan drama percintaan yang manis. Padahal, kenyataan jauh berbeda: kohabitasi lebih banyak meninggalkan luka daripada kebahagiaan.
Islam: Perisai Kehormatan dan Nyawa
Islam tidak datang untuk mengekang manusia, melainkan untuk menjaga fitrah, kehormatan, dan keselamatan mereka. Ada tiga lapis perlindungan yang Islam tawarkan:
1. Ketakwaan Individu
Islam menanamkan akidah yang kuat, sehingga seorang Muslim sadar tujuan hidupnya: beribadah kepada Allah. Ia tahu bahwa pacaran, zina, dan kohabitasi adalah dosa besar. Dengan ketakwaan ini, seseorang akan menjaga dirinya dari jalan yang haram, sekalipun dorongan nafsu menguat.
2. Kontrol Masyarakat
Amar makruf nahi mungkar adalah mekanisme sosial dalam Islam. Masyarakat tidak boleh diam melihat pergaulan bebas. Mereka berkewajiban saling menasihati, mengingatkan, bahkan mencegah kemungkaran agar tidak meluas. Dengan kontrol sosial ini, peluang terjadinya kohabitasi dan perzinaan dapat ditekan.
3. Peran Negara