Episode sebelumnya: Bayang-Bayang di Belakang Takhta
Angin siang di Yudea menghantam padang gurun seperti cambuk tak berwujud. Pasir beterbangan, langit memutih. Tak ada suara manusia, hanya detak waktu dan jejak kaki yang pelan dan kokoh.
Dia berjalan sendiri.
Sang Putra.
Malaikat-malaikat mengawasi dari kejauhan. Mereka diperintahkan tidak mendekat. Mikhael berdiri di batas spiritual antara langit dan bumi, tangannya mengepal dalam kehormatan dan kekhawatiran. Gabriel di sebelahnya, matanya tajam mengamati sosok Kudus yang perlahan-lahan kehilangan tenaga, tapi tidak kehilangan tujuan.
“Ia tidak hanya dicobai sebagai manusia,” bisik Gabriel. “Ia mencintai seperti Allah. Itu sebabnya penderitaan-Nya begitu berat.”
Uriel menambahkan dengan suara tenang,
“Karena Ia adalah Terang, maka kegelapan akan datang.”
Dan benar.
Di balik tirai dimensi, Lucifer sudah tiba lebih dulu. Ia tidak menyamar, tak perlu. Padang gurun adalah tempat antara—antara harapan dan putus asa, antara daging dan roh, antara malaikat dan iblis.