Episode sebelumnya: Ketika Surga Menahan Nafas
Langit malam di atas Betlehem dipenuhi keheningan suci. Para malaikat berjaga, tapi tidak lagi hanya di atas, melainkan tersembunyi di dalam sejarah manusia. Mikhael memimpin para malaikat pelindung dalam barisan tak terlihat, mengikuti perintah ilahi yang kini tak hanya menjaga Surga, tetapi melindungi Putra Ilahi yang telah mengambil rupa manusia.
Namun bukan hanya para malaikat yang mengamati. Di bawah tanah, dalam arus jiwa yang rusak dan niat manusia yang membusuk, kekuatan-kekuatan gelap sedang bergerak.
Di aula tak berbentuk yang membentang di antara waktu dan kehendak yang jatuh, Lucifer berdiri menghadap ke hadirat roh-roh pemberontak yang masih setia padanya.
“Lahir sudah Dia,” katanya, suaranya bergema seperti retakan kaca surgawi. “Tapi Ia belum besar. Dan manusia... mudah disesatkan.”
Azdrel, kini menjadi pengamat gelap di istana Herodes, menunduk hormat.
“Raja itu resah. Ia melihat ancaman dalam bayi yang bahkan belum berbicara.”
“Gunakan kecemasannya,” bisik Lucifer. “Hasut dia, picu egonya, tanam ketakutan. Kekuasaan adalah pintu masuk kita.”
Roh-roh jahat menyelinap ke benak penguasa yang mabuk kuasa. Mereka tidak membuat keputusan manusia, tetapi mereka menari di atas luka batin, kesombongan, dan kecemasan.
Gereja mengajarkan, seperti dikatakan dalam Catechism of the Catholic Church no. 395, bahwa “kuasa setan bukan tanpa batas, tetapi ia bertindak dalam dunia karena pembiaran ilahi.” Dan pembiaran itu bukan untuk kebinasaan, tapi untuk kebaikan yang lebih besar.