Mohon tunggu...
Vinsensius SFil MM
Vinsensius SFil MM Mohon Tunggu... Dosen

Suka membaca dan menulis yang bermanfaat bagi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peralihan dari Budaya Menghafal ke Pemahaman yang Integral

2 Mei 2025   15:20 Diperbarui: 2 Mei 2025   18:08 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak SD kita diajarkan untuk menghafal materi-materi pelajaran di kelas menjelang ujian. Bahkan sampai SMA budaya menghafal itu masih terus dipupuk dalam setiap pelajaran. Setelah lulus perguruan tinggi, saya menyadari bahwa pendidikan itu tidak cukup jika hanya menghafal saja, tetapi perlu juga memahami apa yang diajarkan. Berikut refleksi saya tentang budaya menghafal dan pemahaman yang integral dalam pendidikan, berdasarkan pengalaman saya selama pendidikan dan mengajar di perguruan tinggi:

Menghafal tanpa pemahaman 

Tahap pendidikan yang paling awal memang menghafal. Mulai dari menghafal huruf, angka, dan lafal (mengeja). Namun, pendidikan tidak cukup menghafal saja, tetapi perlu juga memahami apa yang dipelajari. Pemahaman inilah aktivitas intelektual yang sebenarnya, karena kita butuh penalaran, logika, dan pengetahuan umum yang dipelajari di luar sekolah. 

Apabila kita hanya sekedar menghafal saja, apa bedanya kita dengan mesin rekaman yang juga dapat menghafal, malah lebih tepat dari pada hafalan kita. 

Seorang pelajar yang hanya menghafal tidak akan bisa menjelaskan apa yang ia hafalkan, karena ia tidak memahami pelajaran tersebut dengan baik. Maka dari itu, kita perlu memahami melampaui hafalan belaka.

Pemahaman melampaui hafalan 

Pemahaman dapat dilatih dengan menulis ulang apa yang telah kita pelajari atau hafalkan. Seni dalam membuat ringkasan atau catatan pribadi saat belajar menjadi awal dari usaha untuk memahami apa yang dipelajari, bukan sekedar menghafal kata per-kata tanpa makna.

Namun, usaha untuk memahami melampaui hafalan tidak akan terjadi jika soal yang diberikan hanya soal hafalan semua. Perlu ada soal yang menggali pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan dan hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya. 

Maka dari itu,teknik pengajaran kita juga harus diubah dari mengajar satu arah menjadi pengajaran dua arah, misalnya dengan diskusi dan tanya-jawab. 

Dari pengalaman saya mengajar, saya lebih suka jika bentuk ujian yang diberikan kepada mahasiswa adalah makalah atau ujian lisan, sebab di sana kita bisa melihat sejauh mana mereka memahami materi yang telah diajarkan dan mereka pelajari secara mandiri. Seandainya pun diadakan ujian tertulis, saya bebaskan mereka untuk open book, karena pertanyaan yang diberikan bukan hafalan tetapi pemahaman mereka tentang materi dan aplikasinya bagi kehidupan sehari-hari. 

Memang tidak dapat dipungkiri menghafal perlu untuk tingkat pendidikan dasar, namun untuk pendidikan tinggi pemahaman lebih diutamakan. 

Kita bisa menghafal tanpa memahami, tetapi kita tidak bisa memahami tanpa menghafal. Dan biasanya sesuatu yang kita pahami itulah yang mudah kita hafal dan ingat, bahkan semakin berkembang dan mendalam melampaui kata-kata yang tertulis di atas kertas. 

Peralihan budaya belajar yang lebih integral 

Sudah saatnya pendidikan kita berkiblat pada pemahaman yang integral. Mengutip pemikiran dari KI Hajar Dewantara tentang Cipta, Karsa,  dan Rasa, pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (cipta), tetapi juga harus membentuk karakter dan kepekaan sosial (karsa dan rasa). Pemahaman yang integral berarti tidak sekadar tahu secara teoritis, tetapi juga mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan nilai, makna, dan tindakan nyata dalam kehidupan. Pendidikan bukan hanya untuk menjawab soal, tetapi untuk menjawab tantangan kehidupan.

Budaya belajar yang hanya berorientasi pada nilai angka dan hafalan membuat peserta didik kehilangan daya kritis dan kreativitas. Padahal, tantangan zaman menuntut lebih dari sekadar kemampuan menghafal. Kita butuh generasi yang mampu berpikir mandiri, reflektif, dan mampu berkontribusi dalam kehidupan sosial secara nyata. Di sinilah pentingnya perubahan paradigma belajar dari sekadar “belajar untuk ujian” menjadi “belajar untuk kehidupan.”

Pendidikan di perguruan tinggi harus menjadi pelopor dalam transformasi budaya belajar ini. Dosen dan tenaga pendidik perlu merancang kurikulum dan metode pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, berdialog, menulis, dan memecahkan masalah secara kontekstual. Mahasiswa bukan lagi objek pengajaran, tetapi subjek pembelajaran yang aktif.

Saya menyadari bahwa perubahan ini tidak mudah dan tidak instan. Ia butuh kesadaran kolektif dari para pendidik, pengambil kebijakan, bahkan orang tua di rumah. Namun, jika kita ingin pendidikan benar-benar menjadi jalan pembebasan seperti yang diidealkan oleh Paulo Freire, maka pergeseran dari hafalan menuju pemahaman yang integral adalah sebuah keharusan.

Belajar tidak lagi sekadar tentang “apa yang harus saya tahu?”, tetapi “mengapa saya perlu tahu ini, dan bagaimana saya bisa menggunakannya untuk hidup yang lebih bermakna?” Inilah arah baru pendidikan kita: membentuk manusia yang utuh, yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran penuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun