Mohon tunggu...
Vinsensius SFil MM
Vinsensius SFil MM Mohon Tunggu... Dosen

Suka membaca dan menulis yang bermanfaat bagi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peralihan dari Budaya Menghafal ke Pemahaman yang Integral

2 Mei 2025   15:20 Diperbarui: 2 Mei 2025   18:08 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak dapat dipungkiri menghafal perlu untuk tingkat pendidikan dasar, namun untuk pendidikan tinggi pemahaman lebih diutamakan. 

Kita bisa menghafal tanpa memahami, tetapi kita tidak bisa memahami tanpa menghafal. Dan biasanya sesuatu yang kita pahami itulah yang mudah kita hafal dan ingat, bahkan semakin berkembang dan mendalam melampaui kata-kata yang tertulis di atas kertas. 

Peralihan budaya belajar yang lebih integral 

Sudah saatnya pendidikan kita berkiblat pada pemahaman yang integral. Mengutip pemikiran dari KI Hajar Dewantara tentang Cipta, Karsa,  dan Rasa, pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (cipta), tetapi juga harus membentuk karakter dan kepekaan sosial (karsa dan rasa). Pemahaman yang integral berarti tidak sekadar tahu secara teoritis, tetapi juga mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan nilai, makna, dan tindakan nyata dalam kehidupan. Pendidikan bukan hanya untuk menjawab soal, tetapi untuk menjawab tantangan kehidupan.

Budaya belajar yang hanya berorientasi pada nilai angka dan hafalan membuat peserta didik kehilangan daya kritis dan kreativitas. Padahal, tantangan zaman menuntut lebih dari sekadar kemampuan menghafal. Kita butuh generasi yang mampu berpikir mandiri, reflektif, dan mampu berkontribusi dalam kehidupan sosial secara nyata. Di sinilah pentingnya perubahan paradigma belajar dari sekadar “belajar untuk ujian” menjadi “belajar untuk kehidupan.”

Pendidikan di perguruan tinggi harus menjadi pelopor dalam transformasi budaya belajar ini. Dosen dan tenaga pendidik perlu merancang kurikulum dan metode pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, berdialog, menulis, dan memecahkan masalah secara kontekstual. Mahasiswa bukan lagi objek pengajaran, tetapi subjek pembelajaran yang aktif.

Saya menyadari bahwa perubahan ini tidak mudah dan tidak instan. Ia butuh kesadaran kolektif dari para pendidik, pengambil kebijakan, bahkan orang tua di rumah. Namun, jika kita ingin pendidikan benar-benar menjadi jalan pembebasan seperti yang diidealkan oleh Paulo Freire, maka pergeseran dari hafalan menuju pemahaman yang integral adalah sebuah keharusan.

Belajar tidak lagi sekadar tentang “apa yang harus saya tahu?”, tetapi “mengapa saya perlu tahu ini, dan bagaimana saya bisa menggunakannya untuk hidup yang lebih bermakna?” Inilah arah baru pendidikan kita: membentuk manusia yang utuh, yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran penuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun