Mohon tunggu...
Vilda PuspitaSari
Vilda PuspitaSari Mohon Tunggu... Lainnya - SEMESTER 4 PMI C

UNIVERSITAS SULTAN MAULANA HASSANUDIN BANTEN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu dan Permasalahan Pembangunan Perkotaan

10 Juni 2022   18:37 Diperbarui: 10 Juni 2022   18:42 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Disusun Oleh: 

Muhamad Farhan (201530090) 

UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 

PENDAHULUAN 

Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relative panjang. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dari setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (politik, ekonomi dan sosial budaya). Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat. Pada ruang-ruang kota tersebut tercipta lingkungan fisik, sebagai tempat warga kota beraktivitas, dalam bentuk yang sangat kompleks. Berbagai kepentingan, kesibukan dan kehangatan bergelut di dalamnya. Keramaian penduduknya bukan saja karena banyaknya jumlah orang yang menghuninya dan lalu lintas yang hiruk pikuk, melainkan juga karena irama pertumbuhan kota itu sendiri. Keramaian itu merupakan gejala terjalinnya sekian banyak kebutuhan dan peranan yang terdapat di dalamnya. Kota adalah daerah yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. Pada umumnya kota mempunyai cirri-ciri banyaknya fasilitas umum yang tersedia (seperti pertokoan, rumah sakit dan sekolah). Selain itu, lapangan pekerjaan di kota lebih beragam dibandingkan dengan di desa. Pada umumnya para pekerja membentuk organisasi berdasarkan pekerjaan atau profesi. Beberapa organisasi dibentuk berdasarkan kesamaan kepentingan dan gaya hidup seperti, organisasi dokter, organisasi pencinta buku, atau organisasi olah raga. Dalam kehidupannya, penduduk kota memerlukan banyak pelayanan seperti listrik, air, sanitasi, telepon dan angkutan umum. Oleh sebab itu, kota memerlukan pengelolaan, pengaturan dan penanganan yang matang agar semua kegiatan berlangsung dengan baik. Menurut data dari United Nations (2014), saat ini sekitar 54% dari total jumlah penduduk bumi bertempat tinggal di perkotaan. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai sekitar 66% pada tahun 2050. Dari jumlah tersebut, negara-negara Asia akan menjadi tempat tinggal bagi sekitar 53% populasi penduduk perkotaan di dunia. Terlepas dari fakta yang menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi di negara-negara Asia masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara di belahan bumi lainnya, misalnya Afrika, sejumlah kota besar di negara-negara Asia akan muncul sebagai kota raksasa (megacities). Beberapa kota di negara Asia, seperti Tokyo, New Delhi, Shanghai, dan Mumbai telah memiliki populasi melebihi sepuluh juta jiwa. Adapun kota-kota lainnya, seperti Manila dan Jakarta, juga tengah dalam proses untuk tumbuh menjadi kota raksasa. Dengan bertambahnya jumlah penduduk perkotaan, negara-negara di dunia akan menghadapi sejumlah tantangan di dalam penyediaan kebutuhan penduduknya, termasuk kebutuhan terhadap perumahan, infrastruktur, transportasi, energi, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Kebutuhan akan ruang di perkotaan tentunya juga akan mengalami peningkatan. Di negara maju, fakta ini telah mendorong munculnya sejumlah konsep pembangunan perkotaan yang menekankan pada efisiensi penggunaan ruang dan energi di perkotaan.

 1. Urbanisasi 


Perumusan kebijakan dan strategi pengembangan perkotaan, pada dasarnya adalah mewujudkan visi tentang perkotaan yang kita harapkan akan dapat terjadi dalam 20-25 tahun. Perumusan visi tersebut didasarkan pada isu-isu utama yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan pada saat ini. Isu-isu utama pembangunan perkotaan mencakup urbanisasi, kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, kapasitas daerah untuk pengelolaan kota, pertumbuhan antar kota yang belum seimbang, dan globalisasi. Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian adalah semakin banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan ini antara lain disebabkan karena semakin banyaknya penduduk dari daerah perdesaan yang menjadi penduduk kota. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2025 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai 60%. Sebaliknya jumlah penduduk di perdesaan semakin menurun. Dilihat dari aspek fisik, urbanisasi di Indonesia ditandai oleh:

 (1) Meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya daerah pinggiran terutama di kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia, (2) Meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan sub-urban yang telah ’mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tak terkendali, (3) Meningkatnya jumlah desa kota (desa yang tergolong daerah perkotaan). Berdasarkan hasil pengolahan data PODES 1999 dari 7.430 atau 10.87% dari seluruh desa di tahun 1980 adalah desa kota dan ini meningkat menjadi 12.293 atau 17.99% dari jumlah total desa di tahun 1999, (4) Sebagian besar urbanisasi (30-40%) terjadi karena reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa), (5) Propinsi-propinsi trans border (Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Utara) cenderung mempunyai persentase penduduk urban yang tinggi, (6) Tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan cenderung menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat. Oleh karena itu urbanisasi harus dilihat tidak hanya proses perpindahan penduduk desa ke kota, melainkan juga mencakup proses ’pengkotaan’ kawasan perdesaan. Peningkatan jumlah penduduk kota tentunya akan memberikan berbagai implikasi bagi pembangunan perkotaan. Dilihat dari sebaran penduduk perkotaan saat ini dan proyeksinya pada waktu mendatang, konsentrasi pertambahan penduduk kota terjadi di Pulau Jawa, yang hanya merupakan 7% dari lahan seluruh Indonesia. Pengelompokan ini terutama terjadi di Jabodetabek (20% dari total penduduk perkotaan Indonesia). Hal ini menunjukkan adanya ’konsentrasi berlebihan’ dan tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan. Selain itu juga, terutama di kota-kota metropolitan, telah terjadi perkembangan fisik perkotaan yang telah ’mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tak terkendali. Hal ini menyebabkan tidak efisiennya pelayanan kota serta menurunnya kinerja kota. Selain itu, hal tersebut juga berarti semakin dieksploitasinya sumber alam sekitarnya untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kualitas kehidupan kota. Selain daripada itu pada kenyataannya, kota (selain menjadi tempat konsentrasi penduduk) juga menjadi tempat dimana terjadi perusakan lingkungan, timbulnya polusi dan pemanfaatan sumberdaya alam yang terbesar. Sejalan dengan kecenderungan di dunia, urbanisasi masih akan dihadapi oleh Indonesia dimasa mendatang. Implikasi yang paling mendesak dan perlu diperhatikan adalah: 

1. Penyediaan lapangan pekerjaan di perkotaan yang menjadi sasaran atau tujuan dari urbanisasi; 

2. Penyediaan perumahan dan permukiman baik bagi pendatang baru maupun penduduk lama namun belum memperoleh perumahan dan permukiman yang memadai dan memenuhi syarat; 

3. Penyediaan sarana/prasarana maupun pelayanan dasar yang terjangkau bagi pendatang maupun yang telah berada di kota; 

4. Pengelolaan lahan, agar tertib dan tidak melanggar peraturan perundangan yang ada, seperti antara lain dengan menyusun pedoman penataan ruang dan peraturan zoning. Pengelolaan lahan juga diarahkan untuk tidak merugikan golongan-golongan tertentu dengan menyisihkannya sehingga terpaksa memanfaatkan lahan di luar kota atau lahan-lahan yang tidak layak; 

5. Penyeimbangan perkembangan perkotaan agar tidak terjadi konsentrasi tujuan urbanisasi; 

6. Pengendalian dan penataan kembali kota-kota metropolitan sehingga dapat berfungsi kembali secara lebih efisien; 

7. Pengelolaan dan peningkatan pembangunan kota-kota menengah dan kecil agar terjadi peningkatan fungsinya; 

8. Pengelolaan daerah pinggiran kota terutama di kota metropolitan dengan lebih seksama dan hati-hati; 

9. Penanganan masalah pembangunan ekonomi perdesaan; 10. Pengoptimalan hubungan desa-kota yang sinergis untuk mengurangi ketimpangan desa-kota dan mengurangi dorongan untuk pindah ke kota. 

2. Kemiskinan di Perkotaan

 Permasalahan lain yang timbul akibat urbanisasi adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan, sehingga masalah kemiskinan perkotaan merupakan masalah krusial yang banyak dihadapi kota-kota di Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan ini adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar. Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan sosial-ekonomi, politik dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan. Pengertian kemiskinan sendiri bermakna multi-dimensi dari mulai rendahnya pendapatan, kekurangan gizi dan nutrisi, tidak memperoleh pelayanan dasar yang memadai, tidak layaknya tempat tinggal, ketidakamanan, kurangnya penghargaan sosial, dan lain-lain. Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan di daerah perkotaan. Penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat secara signifikan dari 7,2 juta (9,7 persen) menjadi 17,6 juta (22 persen) dari jumlah penduduk pada tahun 1998. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Angka tersebut kemudian menurun kembali pada tahun 2003 yaitu menjadi 13,6% atau 12,3 juta penduduk. Masalah kemiskinan ini merupakan masalah yang mendesak, tidak hanya di tingkat kota,tetapi juga merupakan masalah nasional. Pada kurun waktu 2004-2005 banyak terjadi peristiwa penting yang mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia, antara lain bencana tsunami dan gempa di Aceh dan Nias, bencana alam di beberapa kawasan timur Indonesia serta kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang secara signifikan mempengaruhi eskalasi jumlah orang miskin di Indonesia. Mengenai jumlah peduduk miskin di Indonesia ini terdapat beberapa variasi dengan perbedaan yang sangat menyolok. Data kemiskinan yang disusun BPS menyatakan terdapat sekitar 36 juta orang, sementara menurut laporan ADB pada awal tahun 2005 setidaknya ada penambahan jumlah orang miskin akibat tsunami di Indonesia sejumlah satu juta orang. Bahkan menurut data PT ASKES, jumlah orang miskin Indonesia pasca kenaikan BBM melambung hingga 54 juta orang. Sementara menurut Menneg PPN/Kepala Bappenas, angkanya telah meningkat mendekati 60 juta orang. Walaupun telah berangsur-angsur diusahakan untuk mengentaskan atau mengurangi kemiskinan, dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang ini, kemiskinan masih tetap merupakan masalah penting sehingga perlu ditangani secara bersama-sama terutama di kawasan perkotaan. Harapannya adalah bahwa masalah ini semakin lama akan semakin dapat berkurang. Masalah kemiskinan terkait erat dengan adanya ketimpangan baik ketimpangan antar golongan sosial ekonomi di perkotaan, ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, serta ketimpangan antar wilayah atau kawasan secara nasional. Ketimpangan ini pada gilirannya tak dapat dilepaskan dari masalah-masalah sosial budaya. Implikasi yang paling utama dalam kaitannya dengan penanganan masalah kemiskinan ini antara lain adalah perlunya meningkatkan: 

1. Akses terhadap pelayanan dasar, terhadap lapangan pekerjaan, terhadap modal usaha dan informasi; 

2. Akses pada perumahan permukiman yang layak dan terjangkau; 

3. Penyerasian perkembangan antar golongan, antar kota, antara kota dan desa, serta antar wilayah atau kawasan; 

4. Penanganan masalah-masalah sosial budaya yang sangat terkait dengan masalah kemiskinan 

3. Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan 

Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kualitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan sarana dan prasarana serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan mengejawantahkan aspirasi-aspirasi sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di perkotaan. Kekumuhan kota disebabkan karena sumberdaya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota, yang disebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidak mampuan pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak pada kemampuan warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur umum di kawasannya. Permasalahan utama prasarana dan sarana perkotaan (PSP) termasuk perumahan adalah tidak memadainya penyediaan dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan PSP yang layak. Akibat dari keterbatasan penyediaan dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang berpenghasilan rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP tersebut. Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunakan lahan-lahan secara liar dengan kualitas perumahan yang jauh di bawah standar. Permasalahan ketersediaan air bersih merupakan salah satu masalah utama di perkotaan. Ketersediaan air bersih untuk perkotaan ini terkait erat dengan permasalahan pemanfaatan, pemeliharaan, dan kelestarian sumber daya air yang pada umumnya berada di wilayah sekitarnya. Pengembangan kota juga harus memperhatikan daya dukungnya dengan mengendalikan perkembangan fisiknya dan menetapkan daerah daerah cadangan dan reservasi disertai dengan pelaksanaan yang ketat. Kelestarian sumber daya alam merupakan hal yang terkait erat dengan pengembangan perkotaan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Kesenjangan sosial merupakan permasalahan kota yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kenyamanan kota. Sumber dari kesenjangan sosial adalah timpangnya kondisi kelompok masyarakat miskin dan masyarakat kaya di kota, yang disebabkan karena tidak adilnya akses bagi pemanfaatan sumber daya yang ada di kota, sehingga menyebabkan semakin terpinggirnya kelompok miskin. Kesadaran akan warisan budaya juga sangat terabaikan. Pada beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, beberapa kawasan yang merupakan warisan budaya ada dalam keadaan rusak dan tidak terpelihara. Bahkan di beberapa kota kawasan warisan budaya tersebut dihancurkan untuk digantikan dengan bangunan modern yang lebih komersil. Pihak pemerintah kota yang bersangkutan sangat kurang memberikan perhatian, bahkan cenderung untuk menghilangkannya demi memperoleh keuntungan jangka pendek dengan mengubahnya menjadi kawasan komersil. Dalam tata pergaulan internasional yang modern ini saat ini, kota yang tidak memiliki warisan budaya dianggap tidak memiliki sejarah dan tidak memiliki identitas. 

DAFTAR PUSTAKA 

Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, Surabaya: ITS Press, 2006 Colombijn, Freek dkk (ed), Kota Lama-Kota Baru Sejarah Kota-kota di Indonesia, Jogyakarta: Ombak, 2005 -------------------, Paco-paco (Kota) Padang, Yogyakarta: Ombak, 2006. Direktorat Nilai Sejarah, Bunga Rampai Sejarah Lokal, Jakarta: Dep. Kebudayaan dan Pariwisata, 2006. Soegijoko dkk (ed). Bunga Rampai Pembangunan Kota di Indonesia, Buku 1, Jakarta: URDAL, 2005 Suryo, Djoko, “Kota dan Dinamika Kebudayaan”, Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah di Jakarta, November 2006. Santoso, Jo, Menyiasati Kota Tanpa Warga, Jakarta: KPG, 2006 Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, 2005

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun