Mohon tunggu...
Vera Syukriana
Vera Syukriana Mohon Tunggu... Guru - guru

meyakini dan mensyukuri adalah awal kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

My Mom is Super Tough

29 Juni 2021   09:47 Diperbarui: 29 Juni 2021   10:03 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bab 3. Pasca Pergolakan PRRI

Oleh: Vera Syukriana, S.Pd.

Keadaan kampung makin tidak aman jadi nenek mengungsi ke Batipuah Kabupaten Tanah Datar atas perintah wali nagari. Semua kekayaan ditinggal termasuk sawah ladang.

Mereka hidup apa adanya bersama-sama di daerah pengungsian di kecamatan. Tinggal di rumah kosong dan ada juga di mesjid. Untuk memenuhi kebutuhan, ada bantuan dari pemerintah tapi tidak setiap hari.

Saat itu, memasak masih pakai batu bara. Diambil dari jatuhan batu bara yang dibawa oleh kereta api dari Kota Sawahlunto ke Kota Padang Panjang atau ke Kota Padang.

Mama dan teman-temannya memilih batu bara disepanjang rel kereta api. Ketika itu mereka tetap mensyukuri kehidupan seadanya dan menikmati hari-harinya dengan kebersamaan. Kalau batu bara habis, nenek memasak dengan pelepah kelapa.

Pertempuran mulai aman di kampung. Tentara kembali ke Jakarta. Masyarakat Andaleh kembali ke kampung halaman.

Sejauh mata memandang, kampung terlihat datar tanpa ada perumahan rakyat. Hanya ada dua mesjid yang masih kokoh. Tidak ada bangunan sekolah untuk menimba ilmu.

Wali nagari memerintahkan masyarakat bergotong-royong membuat gubuk yang terbuat dari bambu dengan beratapkan seng, bekas pembakaran rumah oleh tentara pusat.

Ada yang tinggal lebih dari satu keluarga dalam satu gubuk. Gubuk itu dibuat panjang dan berbatas-batas. Di sinilah masyarakat merasakan adanya kekeluargaan yang erat.

Ada juga, yang dibuat di tanah masing-masing. Pembuatannya tetap dengan cara gotong-royang dan bahannya pun sama. Namun, hanya satu keluarga yang tinggal di dalamnya.

Keadaan ini, membuat kehidupan ekonomi nenek sangat memprihatinkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek menjual sayuran ke pasar Padang Panjang dengan jalan kaki.  Akses transportasi saat itu terputus karena mobil tidak bisa memasuki kampung yang jalannya  sudah rusak berat bekas pemberontakan PRRI.

Masyarakat yang lain pun juga merasakan hal yang sama. Ada yang menjual kayu bakar, menjual daun, menjual daun pisang kering, dan ada yang menjadi buruh tani ke daerah lain seperti ke Singkarak, Ombilin, dan daerah sekitarnya.

Meskipun demikian, masyarakat tidak putus asa dan lebih giat bekerja serta mementingkan pendidikan anaknya. Pada waktu itulah, sekolah mulai dibuka. Walau hanya dalam fasilitas yang sangat minim.

Mereka belajar di mesjid tanpa memakai pakaian seragam. Banyak peserta didiknya yang tidak memakai alas kaki. Berbeda dengan mama, yang masih memiliki sendal jepit sebagai alas kakinya menuju tempat pencarian ilmu.

Alat tulis yang dipakai yaitu batu tulis pengganti buku tulis kita sekarang dan batu tulis penggantu pensil atau pena. Batu tulis bagian depan digunakan untuk belajar berhitung. Bagian belakang untuk belajar menulis.

Sistem belajarnya tidak memiliki catatan tetapi pembelajaran harus tuntas dan dinilai langsung.Apabila sudah dinilai, tulisan yang dibuat dihapus pakai air tanpa bekas.

Kendatipun begitu, peserta didik bersemangat mencari ilmu. Setiap materi mereka kerjakan dengan baik. Dan mereka pun siap menyimpannya diingatan masing-masing. Jika ujian tiba, mereka hanya bermodalkan memori yang tinggal selama ilmu diberikan karena tidak ada catatan yang bisa mereka baca kembali.

Kegiatan pembelajaran seperti ini berjalan selama tiga tahun. Mama dan teman-temannya yang lain kembali belajar di sekolah. Berangsur-berangsur belajar menggunakan buku yanga didapat dari bantuan pemerintah.

Bangunan sekolah dibangun dari bahan bambu dengan dinding jalinan bambu, beralaskan tanah. Akan tetapi, sudah ada meja di ruang belajar.

Mama termasuk peserta didik yang pintar. Ini didorong oleh perhatian orang tua mama yang sangat peduli dengan pendidikan.

Latar pendidikan orang tua mama yaitu kakek tamatan pesantren. Nenek tidak tamat SD tapi pintar membaca. Meskipun begitu, nenek pandai mendidik anak-anak di rumah.

Kakek orang yang sangat disiplin, bersih, dan suka membaca. Dia seorang tokoh masyarakat yang disegani. Selain sebagai Datuak di sukunya, kakek seorang imam mesjid dan bekerja sebagai wali nikah, saat itu bernama P3NTR.

Pekerjaan sehari-hari kakek, sebagai petani. Kakek ke sawah membawa bekal makan siang dan tidak lupa juga membawa buku bacaan.

Dia menggunakan waktu istirahat untuk membaca buku. Begitu cintanya dia dengan ilmu.

Kalau di rumah, kakek tidak mau berhenti bekerja. Dia membersih kebun di lingkungan rumah. Kakek menyiapkan kasur kecil di depan meja buku untuk alas duduk saat membaca. Sehingga menumbuhkan rasa nyaman dan betah membaca.

Sungguh beruntung mama punya orang tua yang dikenali semua lapisan masyarakat. Banyak yang menyayanginya. Tidak hanya karena jabatan kakek tapi karena kepintaran dan akhlak mama yang baik pada semua orang.

Kemurahan hati dan keuletan mama turun dari sifat kakek dan nenek. Orng tunya jug suka berbagi. Mereka memfasilitasi anak-anak belajar mengaji di rumah sendiri. Kehidupan mama saat itu dikelilingi oleh-orang yang hebat dan baik agamanya.

Solok, 29 Juni 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun