Mohon tunggu...
Vena Meirzani
Vena Meirzani Mohon Tunggu... Lainnya - A Freelance Writer

She loves writing, but yet she was not doing writing for a living

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehilangan-Kehilangan dalam Kehidupan

11 Oktober 2022   07:21 Diperbarui: 11 Oktober 2022   07:50 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam menuju tahap pendewasaan kita dihadapi oleh berbagai macam jenis kehilangan. Dari mulai kehilangan pulpen, kehilangan sendal, kehilangan uang, kehilangan teman, kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, sampai kehilangan orang-orang yang kita sayang. Setiap manusia memiliki coping mechanism-nya masing-masing dalam menghadapi berbagai kehilangan tersebut. 

Ada yang go-on dan berusaha untuk menjalankan hidup dengan semestinya yang terkadang sayup-sayup perasaan kehilangan tersebut tetap bersarang di dalam tubuhnya, dan ada juga yang memilih tenggelam dalam lautan kesedihan secara berlarut. Berbagai emosi tentunya bergumul di dalam diri.

Layaknya anak kecil yang kehilangan orang tuanya di tengah keramaian, pastinya reaksi pertama yang muncul ialah terkejut, gelisah, dan tentunya kehilangan arah. Akan tetapi anak kecil sekalipun pastinya mempunyai reaksi kedua yang mereka berikan yaitu, bagaimana caranya agar mereka dapat bertemu orang tuanya. 

Ada yang sudah cukup mengerti untuk  meminta pertolongan orang lain menghubungi orang tuanya, akan tetapi ada juga yang terus berlari tanpa henti sembari berharap pelarian dia ini akan membawa mereka ke orang tuanya.  Ada yang terus berlari dan berhasil, tetapi ada juga yang pada akhirnya tidak berhasil dan mencoba opsi kedua dengan meminta pertolongan orang lain.

Tanpa kita sadari pada saat kita dewasa, respon kita terhadap kehilangan sebetulnya hampir sama dengan si "anak kecil" yang kehilangan orang tuanya di tengah kerumunan. Ada yang begitu kuat menghadapi sendiri kehilangan tersebut, dan terus berlari dari kenyataan juga mencari peralihan. 

Di lain sisi ada juga yang pada akhirnya tidak lagi kuat berlari, mereka memilih untuk berhenti dan meminta pertolongan orang terdekatnya. Sesederhana ingin didengarkan bukan untuk diselesaikan permasalahannya.


Saya percaya bahwa pada dasarnya memang manusia ialah makhluk sosial yang hidup berdamping-dampingan. Oleh karena itu mempunyai "the one" yang dapat dijadikan sandaran, merupakan salah satu faktor pendukung kita dalam berproses mencerna kehilangan tersebut. 

Tentu orang tersebut tidak harus dan tidak melulu berwujud sebagai pasangan hidup, bisa saja teman kita, ayah, ibu, kakak, ataupun mbak-mbak kosan yang bersedia mendengar gumaman tidak jelas dari kita. 

Mungkin tidak semua orang seberuntung itu bisa mendapatkan seseorang yang telah saya sebutkan diatas, tapi percayalah jika memang kalian tidak memiliki "the one" kalian masih memiliki diri sendiri. Karena pada akhir penghujung hari, yang bisa menyelamatkan diri kita ialah diri kita sendiri.

Sejatinya tidak semua bentuk kehilangan dapat digantikan. Kehilangan kesempatan dalam menggapai mimpi-mimpi kita misalnya. Tidak semua orang dapat memiliki waktu serta kesempatan yang lebih untuk dapat mengejar mimpi-mimpi itu. 

Semakin dewasa, kata mimpi tersebut terkadang terdengar seperti omong kosong belaka yang terasa sangat fana. Kenyataannya tidak semua orang bisa memilih. Pada akhirnya mereka hanya bisa mengambil kesempatan yang ada di depan mata. 

Meskipun hal itu bukanlah hal-hal yang mereka coba kejar, bukan hal-hal yang mereka inginkan atau bahkan impikan sekalipun. Akan tetapi apakah orang-orang yang akhirnya mencoba untuk mengambil resiko terhadap kesempatan fana tersebut termasuk ke dalam orang-orang yang menyedihkan atau orang-orang yang gagal dalam menjalani kehidupan sebenar-benarnya?. Menurut pendapat saya pribadi sama sekali tidak, justru sebaliknya kita patut memberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap mereka.

Terdapat satu percakapan dari buku ditulis oleh Ika Natassa berjudul Heartbreak Motel, yang sangat melekat di pikiran saya kurang lebih salah satu karakternya berkata seperti ini:

 

"Kita tuh mungkin gasadar kalau setiap hari menjalani hidup kayak pengendara tong setan. Memilih, kalau bisa. Harus pinter-pinter melawan segala macem yang bisa bikin kita jatuh. Mikirin tiap hal yang kita lakukan dengan mengukur risk and reward-nya, supaya gak salah dan gak jatuh. Sama jangan lupa sama intangible rewards itu. Mikirin yang bikin kita bahagia sebenarnya apa"

Sama seperti apa yang dikatakan oleh karakter dalam novel tersebut, bahwa pada dasarnya kita tetap harus mengambil berbagai resiko tersebut, dan kita harus mempercayai bahwa bersama dengan risk selalu akan ada rewards yang akan kita dapatkan. 

Sebagai contoh jika kita kerja di bidang yang kita tidak sukai misalnya, meskipun ego kita mungkin tidak tepenuhi karena berfikir "bukan disini saya harusnya berada", akan tetapi di lain sisi kita harus memikirkan rewards apa yang bisa kita dapatkan?. 

Tentu yang paling utama kita bisa mendapakan uang. Mungkin ini merupakan salah satu contoh yang cukup kompleks, contoh yang jauh lebih sederhananya tentu bisa kalian aplikasikan pada kehidupan kalian masing-masing. Jadi memang betul kita pada akhirnya dapat kehilangan kesempatan dalam menggapai mimpi kita. 

Akan tetapi tentunya kita tetap akan mendapatkan rewards-rewards yang tidak bisa kita duga baik yang tangible maupun yang intangible yang hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh si karakter utama.

Walaupun saya sudah menjelaskan panjang x lebar mengenai kehilangan. Tetap saja pastinya sangat sulit untuk sekedar "ikhlas". Tahap penerimaan kehilangan tentunya tidak semudah yang kerap dikatakan orang-orang kurang lebih seperti "ikhlas ya mungkin nanti akan digantikan dengan yang lebih baik" lalu seakan-akan secara otomatis ingatan tersebut terhapus dari kotak memori di otak kita. Tetapi kembali lagi, kita sebagai manusia bisa apa? 

Selain menerima, menerima, dan menerima apapun kenyataan pada akhirnya harus kita hadapi. Dan percaya bahwa selama kita masih hidup di dunia ini, kita akan terus dihadapi orang berbagai macam kehilangan. 

Bukan hanya kita tapi semua makhluk di dunia ini bahkan hewan sekalipun.  Tidak ada cara yang paling cepat dan tepat dan tidak perlu bersiap juga dalam menghadapi kehilangan. 

Setiap manusia secara harfiah memiliki perisai berlapis-lapis yang sangat kuat dan sangat sulit untuk dihancurkan. Seperti layaknya kura-kura yang memiliki tempurung sebagai perisainya, dimana semakin tua umurnya maka semakin kuat tempurungnya. Sama seperti manusia, semakin dewasa dirinya, niscaya perisai tersebut akan semakin kokoh dan kuat. 

Semakin banyak penerimaan penerimaan yang dilaluinya, maka akan bertambah satu lapis lah perisainya. Kita hanya perlu berserah diri dan meminta kekuatan sebanyak-banyaknya agar ketika kita berada pada momentum tersebut minimal saja kita bisa melaluinya. Seperti apa yang chrisye katakan pada lagunya "Badai Pasti Berlalu" teman-teman .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun