Hingga suatu ketika, setelah saya selesai kuliah dan dikenal masyarakat luas lantaran menjadi wartawan, beliau bertanya,”Siapa yang terkenal di antara kita berdua?” Tanpa dijawab, beliau menjawab sendiri,” Pua yang terkenal daripada kamu”. Dengan tersenyum, saya menjawab, “Pua salah besar. Yang terkenal adalah saya”, balasku . Beliau pun menyambung,”Saya paham, karena pakai nama Ganggang,yang tidak lain nama aslimu. sementara nama saya tidak dikenal orang”, jawabnya sambil pasang senyum juga. Kami pun tertawa, sampai sakit perut. Boleh jadi karena begitu dekat, jarang beliau marah, apalagi memukul pakai kayu terhadap kelakuan saya sebagai anaknya.
Di zamannya, di mana ada berita 'napat; (kegiatan mengejar rusa) atau 'wonok' (mengejar rusa dengan memanfaatkan anjing yang mencari rusa di bukit atau gunung), Pua-ku bersama napat'er lainnya menunggu di 'lengkong; (padang luas yang ditumbuhi ilalang). Ketika rusa turun dari gunung, mereka pun berebut mengejar rusa hingga rusa dapat ditombak atau di-"sengkaret' ( ditangkap dengan menggunakan tali yang sudah dipasang seperti jerat).
Ketika rusa masuk kali, biasanya terus sembunyi di kolam yang dalam. Hanya kepalanya saja yang kelihatan. Pada saat itu, Pua-ku turun dari kudanya dan terus berenang, lalu menangkap kakinya, hingga rusa tidak bergerak, apalagi setelah kepala rusa dibenamkan ke dalam air.rusa menjadi lemah, dank arena itu, Pua mudah mengangkatnya ke darat.
Sekali waktu, ketika saya ikut dalam ‘napat di Naga kehamentean Matawae, saya melihat sendiri, Pua-ku turun dari kudanya lalu kejar manfaatkan kakinya yang panjang, hingga rusa ditangkap. Semua orang berdecak kagum kehebatan Pua. Hasilnya, daging-daging rusa itu, dibagi-bagikan kepada warga sekampung. Iya, selalu, saya perhatikan, daging-daging rusa yang didapatnya, dibagi-bagikan kepada semua orang di dalam kampung. Kecuali kepala rusa, tidak pernah dibagikan kepada orang.
Sebagai seorang ‘napat’er. , beliau selalu memandikan kudanya, hingga bersih, setiap hari. Kudanya,, ada yang berwarna ‘bolong’( hitam); ’ balo’ (belang); ada juga yang ‘jampi’(putih). Semua kuda untuk napat-nya, besar-besar, tinggi dan panjang. Kuda-kuda itu, sangat dekat, dan seakan tahu, kalau ada jurang atau selokan di tengah pandang nan luas. Kuda-kuda dari Pua, seakan tahu kalau ada kondisi yang tidak menguntungkan. Misalnya, ketika di depannya ada kali kecil tertutup alang, dia berhenti lari, sehingga Pua pun , tidak lagi memecutnya. Semua itu dilakukan kudanya, suapay Pua tidak jatuh.
Begitupun kalau ada kerbau yang sudah cape untuk lari. Biasanya kerbau kalau sudah capeh, dia marah dan langsung menanduk orang yang mengejarnya. Mata seketika itu, kuda berhenti, dan seakan-akan jadi pahlawan,ketika kerbau menanduk Pua . Kuda tersebut menghindar bahkan jadi tameng ketika ditanduk kerbau. Saat itu, Pua terhindar dari bahaya tandukan kerbau.
Sekali waktu, kerbau sudah tidak bisa lari lagi. Dia tunggu dan bersiap-siap untuk menanduk Pua. Sayang kudanya juga sudah capai dan tidak bisa berlari lagi, akhirnya kuda kesayangan Pua yang berwarna belang putih itu, jadi tameng. Pua turun dan berdiri di sebelah kudanya. Sementara kuda kesayangnya ditanduk kerbau, hingga kuda tewas. Melihat kudanya tewas, barulah Pua mengambil langkah seribu.
Kuda yang belang (berwarna belang hitam) itu adalah kuda pertama yang dimiliki Pua sewaktu menjadi napat’er. Kuda ini, paling disayangi Pua. Karena itu, setelah kuda ini tewas ditanduk kerbau, Pua menangis sejadi-jadinya. Kami waktu itu, belum sekolah. Kami menyaksikan Pua menangis. Kuda itu, akhirnya baru diambil sore harinya. Kepalanya, disimpan di atas sebuah tenda tinggi yang sengaja dibuat, di sebelah kali ‘Wae Rendong, berhadapan dengan rumah kami di Rempong.
Setiap pagi dan sore, kami selalu melihat kepala kuda itu. Hati kami juga sedih. Iya, kami juga merasakan kesedihan Pua, kapan mendapatkan lagi kuda seperti itu. Kuda yang sangat perhatian sama Pua. Dan ini dia, kami lama berhenti makan daging rusa, hasil kegiatan napat dari Pua. Setahun lamanya, Pua tidak mengikuti napat di mana-mana. Apalagi kuda pengganti si ‘Belang hitam’ belum juga ada. Iya, meski dicari hingga di Lembor atau di Walang (Mburak), tapi kuda seperti sifat si “Belang hitam”, belum juga didapat.
Selama dua tahun, kami masih saksikan tengkorak kuda yang sengaja disimpan di atas tenda sebelah Wae Rendong. Dan setelah tenggorak kuda itu hilang, barulah Pua menemukan kuda berwarna hitam pengganti si Belang hitam. Kuda ini, ditukarnya dengan dua ekor kerbau besar, istilah di kampungku, kerbau delapan gigi. Dengan didapatinya kuda ini, Pua kembali beraktivitas sebagai napat’er. Rupanya, kuda ini, sifatnya sama seperti si Belang hitam. Larinya kencang ketika memburu rusa atau kerbau. Nah, setelah kuda berwarna hitam ini dijadikan kuda napat oleh Pua, ternyata, hasilnya nyaris sama dengan hasil yang diperoleh oleh si Belang Hitam. Sayang sekali umur kuda ini, hanya dua tahun di tangan Pua, karena kena penyakit hewan.
Pua kembali sedih, setelah kudanya yang kedua, mati. Membunuh kesedihannya, setiap hari mengajar kami untuk belajar menangkap udang, ikan, belut dan kepiting. Sejak itu, terutama, aku, belajar menangkap udang dan 'ipung'(sejenis ikan tapi agak kecil panjang) dengan 'sengkaret' (semacam jerat pake 'lidi' (kayu pelepah daun enau).