Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puja Abdi pada Ibu Pertiwi

18 Agustus 2021   20:47 Diperbarui: 18 Agustus 2021   20:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lepuh pijar masih menggantung

Bayangannya menyatu dengan tirai bambu kuning di sebelah sana

Airnya pun telah menetes dari balik dahan dan jendela

Rupanya ada sekelabat angin yang datang terhuyung-huyung

Namun, kilau neon telah padam lebih dulu

Disambar petir pulang petang tadi

Setelah genap dua tahun tak terungsi

Mungkin, sudah tiba waktunya untuk ia mengabu

Tapi kekasihku tak kunjung kembali setelah berpamit

Ditinggal aku seorang diri dengan aral yang pasti

Dalam risau pelepasan yang terus berkelumit

Aku bertanya pada muka cermin, tapi tak diberinya satu solusi

Lalu, awan menghampiriku dengan membawa kabar

Dalam amplop putih lusuh berbingkai perangko

Bukan sepucuk surat yang diterbarnya

Melainkan, sepenggal kata dalam diagnosis sebuah wabah

Yang menjadi peninggalan terakhir sebelum ia pergi

Kini, aku benar-benar ditinggal seorang diri

Hanya mampu menangisi nasib dari kejauhan

Sebab, kekasihku telah dikremasi dalam peti kematian

Tuan, padahal kami telah membuat sebuah janji

Jatuh bertepatan di hari kemerdekaan 17 Agustus

Untuk bersama-sama melaksanakan upacara bernyanyi

Pada rimbunnya pepohonan di pekarangan kami yang tandus

Belum cukupkah malaikat kecilku diambil, Tuan?

Akan ada berapa banyak lagi "aku" yang menjadi sebatang kara?

Lara dalam binasa yang enggan memberikan sedikit iba

Masih saja, menggerogoti akar dalam kehidupan

Nestapa, itulah yang saat ini dirasakan

Selepas dibekap protokol kesehatan dan macam penyekatan

Ditambah pemutusan secara sepihak oleh para taipan

Melaratkan anak-anak yang lepas dari masa kekanakan

Tuan, besok sudah hari kemerdekaan

Bolehkah, kita berdamai dengan keadaan?

Dalam sehari saja, kita saling memeluk nurani

Memahami isi dari masing-masing memori

Sebab, di sana masih ada keluarga yang menunggu

Masih ada pula barisan pilu yang tertancap peluru

Semua terbenam dalam rasa yang berharmonisasi dengan melodi

Untuk sekadar menitip salam pada Ibu Pertiwi

Tidak apa, kita tidak bernyanyi

Tapi, Tuan izinkanlah negeri ini sejenak bersenda

Meskipun, terbatas sekat tembok baja

Namun, tetap sakral dalam balutan puja seorang abdi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun