Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil. "Aku merasa kamu kayak gitu. Kamu kayaknya lagi cari bentuk sendiri. Tapi kamu juga sering membawa hujan ke orang lain. Bahkan tanpa sadar."
Aku menunduk. Kalimat itu terasa begitu tepat, sampai-sampai aku tak bisa menjawab apa-apa.
"Kalau kamu, kamu kayak gimana?" tanyaku akhirnya.
Ia tertawa pelan. "Aku? Aku kayak gunung. Diam, kokoh, tapi kadang suka menyimpan api di dalam. Cuma bedanya, aku bukan gunung aktif. Aku lebih kayak gunung yang sedang tidur. Menunggu waktu untuk bangun lagi."
Aku ikut tertawa ringan. Tapi rasanya ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuatku penasaran.
"Kamu pernah bangun dari tidur? Maksudku... pernah terjaga kemudian berjalan keluar kamar dengan setengah sadar?"
Ia diam sejenak. Lalu menjawab, "Pernah. Tapi rasanya sakit. Bangun itu selalu butuh pengorbanan. Kadang harus rela kehilangan sesuatu, atau seseorang."
Aku memperhatikan ekspresinya. Sorot matanya berubah. Seperti orang yang baru saja membuka lembar kenangan yang agak pilu.
"Kamu pernah kehilangan seseorang?" tanyaku pelan.
Ia menarik napas panjang, lalu menjawab, "Ya. Mantan pacarku... meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Kami udah rencana nikah. Dia bilang, 'nanti kita tinggal di daerah pegunungan'. Dan sekarang, aku di sini... tapi tanpa dia."
Aku diam. Hatiku terasa sesak mendengarnya.