Aku tertidur di bangku kayu kecil itu, kepala masih menyandar di bahunya. Pelan - pelan Haning membangunkan aku  dengan suara lembut dan  tangan hangatnya menyentuh bahuku.
"Kamu nggak pulang? Atau mau istirahat dulu di dalam?" katanya, suaranya seperti alunan musik malam yang terdengar merdui.
Aku mengucek mata, mencoba kembali sadar. Udara malam mulai menusuk kulit, tapi tubuhku masih enggan bergerak.
"Aku... pulang saja," jawabku ragu. "Tapi motorku masih di depan rumahmu."
Haning tersenyum. " Biarkan motormu di depan aman kok . Tapi jalan-jalan dulu yuk. Ada tempat kecil yang bagus buat lihat Lembah dari atas. Kalau cuaca sejernih ini, langit penuh bintang. Bisa bikin lupa sama dunia."
Aku mengangguk. Masih setengah sadar, tapi ada rasa nyaman yang membuatku tidak ingin buru-buru pulang.
Kami berjalan melewati jalur sempit di belakang rumahnya---sebuah anak tangga kecil dari batu alam menuju bukit kecil di belakang pemukiman. Di puncaknya, ada sebuah bangku kayu tua yang tampaknya sengaja diletakkan untuk menikmati lembah dari ketinggian.
Dari sana, pemandangan Lembah Biru benar-benar terbentang luas. Kabut tipis mengambang di antara pepohonan, dan bintang-bintang di langit bersinar cukup terang menerangi wajah Hanung ketika ia menoleh padaku.
"Kamu pernah merasa... hidupmu kayak awan?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh. "Awan?"
"Iya. Awan itu nggak punya bentuk tetap. Kadang putih, kadang hitam. Terkadang cuma menemani langit, kadang hujan juga turun darinya. Tapi dia selalu bergerak. Nggak pernah diam."