Contohnya, dua orang bisa memakai logika koheren yang sama, namun menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda tentang agama. Kenapa? Karena mereka memulai dari premis yang berbeda - satu memandang wahyu sebagai sumber pengetahuan agama, yang lain hanya menerima yang empiris. Maka meskipun keduanya konsisten dalam berpikir, hasil akhirnya bisa bertolak belakang (!)
Logika tak menuntun manusia ke satu arah tertentu, ia hanya mengizinkan manusia menapaki arah mana pun - asal tetap di atas rel sebab-akibat yang koheren. Ia netral. Ia seperti rel kereta, bukan lokomotif yang menentukan tujuan.
Maka tidak mengherankan bila seseorang menguji agama dengan logika, tetapi hasilnya bukan penguatan iman, melainkan pengingkaran. Sebab hasil itu lebih bergantung pada filosofi-kacamata-cara pandang yang mendasarinya, bukan pada logika itu sendiri.
---
Uji logika koheren terhadap agama,
Apakah ditentukan murni oleh konstruksi ilmu logika, atau oleh isi kepala individu ?
Jawabannya: bukan murni oleh logika, melainkan sangat ditentukan oleh isi kepala (kerangka berpikir) individu yang mengoperasikan logika itu.
1. Ilmu Logika: Alat Netral-Bukan Penentu Arah
Ilmu logika adalah alat struktural untuk berpikir benar secara formal. Ia menetapkan aturan bagaimana premis-premis bisa diturunkan menjadi kesimpulan yang sah (valid). Tapi logika tidak menciptakan premis-ia hanya bekerja setelah premis diberikan.
> Seperti pisau tajam, logika bisa digunakan untuk mengiris buah atau menyayat kulit, tergantung siapa yang memegangnya dan untuk tujuan apa-Ia tidak menentukan apa yang mau di iris dan hendak dijadikan apa
2. Isi Kepala Individu: Sumber dari Premis
Isi kepala seseorang-yakni filosofi, pandangan hidup, latar sejarah, psikologi, bahkan trauma menjadi sumber dari premis-premis yang akan diuji secara logis. Dalam konteks agama, ini sangat menentukan: