Ilmu logika pada dasarnya bersifat tetap, baku, dan netral. Ia adalah perangkat berpikir yang tertib, bukan pemandu arah ideologi. Namun, begitu logika itu masuk ke dalam kepala manusia, ia mulai bermain dalam ruang yang tak sepenuhnya netral. Di situ ia mulai bersinggungan dengan prasangka, pengalaman, nilai, bahkan trauma-hal hal yang bersifat personal.
Logika yang bermain di kepala bisa digunakan untuk membangun argumen teistik maupun ateistik. Ia dapat dijadikan alat untuk menerima atau menolak agama-tergantung pada isi kepala siapa yang menggunakannya.
Di titik inilah penting untuk disadari: tidak ada kepala yang betul-betul kosong ketika berjumpa dengan agama. Tidak ada kesadaran yang steril dari prasangka, tidak ada manusia yang benar-benar tabula rasa dalam menafsirkan wahyu.
Ketika agama hadir di kepala ssseorang, ia tidak datang ke ruang hampa-Kepala itu ternyata telah berisi-dengan filsafat, budaya, pengalaman, dan mungkin luka-luka pribadinya. Maka ketika seseorang berbicara tentang agama, ia bukan sedang mendeskripsikan agama menurut agama itu sendiri, melainkan agama sebagaimana dipantulkan oleh isi kepalanya.
Demikianlah agama, begitu masuk ke dalam ruang batin manusia, tidak bisa tidak akan terwarnai oleh isi ruang itu. Maka tafsir pun lahir. Tafsir yang bisa membangun atau meruntuhkan iman, bisa menjernihkan atau malah memburamkan cahaya.
......
Uji logika koheren terhadap agama: Apakah menjamin kesamaan dengan penjelasan Kitab ?
Tidak, Menguji agama dengan logika koheren tidak otomatis akan melahirkan pemahaman agama yang sesuai dengan penjelasan kitab suci.
Mengapa?
Karena logika koheren adalah alat berpikir yang bekerja berdasarkan prinsip keterpaduan internal (koherensi) dan sebab-akibat. Ia memastikan bahwa pernyataan-pernyataan tidak saling bertentangan, dan argumen mengikuti pola yang konsisten. Namun, logika formal tidak dan bukan yang menentukan isi dari argumen tersebut. Ia hanya menguji struktur, bukan kebenaran ontologis yang ditarik dari premis- premisnya.
Dengan kata lain, logika tidak menyediakan kaca mata, ia hanya menyediakan kerangka berpikir. Kaca mata atau sudut pandang berasal dari filsafat pribadi, latar belakang ideologis, psikologis, bahkan historis dari sang pemikir.