Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bukan) Ular Naga

1 September 2021   11:04 Diperbarui: 1 September 2021   11:40 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Amelia Chen, Sumber: www.partfaliaz.com

Malam itu kau bertemu ular naga. Bukan dalam peragaan atau permainan anak-anak, melainkan dalam bentuk betulan: coklat, bersisik bukan berisik, dan berasap. Selongsong napas api keluar dari rongga mulutnya.

Ular naga itu berbicara padamu, "kopi."

Sedang kau masih memikirkan bagaimana cara ular naga sebesar rumah itu masuk ke rumahmu.

"Tapi saya tidak punya kopi," kau membalasnya takut-takut.

      (1) takut kalau ular naga itu menyemburkan api yang dapat mengubah kulitmu menjadi abu;

      (2) takut kalau segerombolan warga menyatroni rumahmu dengan serentet pertanyaan dan pernyataan. 

"Ko-pi," ular naga itu mengeja. Seperti guru sekolah dasarmu yang mengajarkan huruf dan angka.

"Ya-ya. Sa-ya ta-hu." Kau balik mengeja. Mengajarkan ular naga salah alamat itu sedikit tata krama.

"La-lu?" tanya si ular naga, masih mengeja.

Kau yang kehilangan kesabaran akhirnya menghembuskan napas keras-keras. Naga sialan. Kenapa tidak balik saja ke tempatmu berasal: buku dongeng anak-anak.

Tapi kau urung menyebutkan itu. Tidak ada yang bisa menerka tingkat pengetahuan seseorang, atau dalam hal ini sehewanan. Sebagai makhluk purba, ular naga disinyalir memiliki insting seekor elang, intuisi seorang ibu, serta kebijaksanan seorang petapa.

"Sa-ya ma-u ko-pi," sahut ular naga itu dengan derik mengancam. Hidungnya mulai mengeluarkan asap. Mulutnya tertutup dan terbuka dalam gerak tak simultan.

Untuk sepersekian detik, kau berpikir bahwa ular naga itu akan menyemburkan api. Bukankah itu adalah cara ideal bagi naga untuk unjuk gigi (dan mengintimidasi)?

Kilas perjalanan seperempat abad mendadak berlarian dalam kepalamu. Saat-saat pertama masuk sekolah, berkenalan dengan seorang teman, berambut ikal, bergigi gingsul; menangis karena tersandung batu, membatu saat dimarahi ibu; beranjak dewasa, pertama kali masuk bekerja, kecup hangat di dekat telinga, senandung lagu dari penyuara jemala; tertidur, tersungkur, terantuk realita, jalan macet ibukota. 

Kau lalu memejamkan mata. Lidahmu terbata merapal syahadat yang selama ini tertinggal di balik sajadah. Kesaksian terakhir seorang hamba, kehambaan terakhir seorang manusia.

Namun bukan api yang menghujani kulitmu. Melainkan pekik yang diiringi lendir yang sedikit kental yang berbau bacin. Menyebar bersama batuan dan kerikil. 

Ular naga itu sedang bersin, sekaligus meruntuhkan tembok rumahmu yang tersisa sesibir.

Habis sudah. Hewan purba itu telah melenyapkan kewarasan dan tempat tinggalmu secara bersamaan. Mungkin sebentar lagi, giliran rangka yang melindungi darah dan tulang belulangmu yang ia tuntaskan.

"Ko-pi a-pa?" jawabmu pasrah, mengikuti titah sang tuan raja.

"Hitam," jawab si ular naga. Tidak lagi mengeja.

Kau memijit kening. Terlalu lelah. Terlampau gerah. Jika ini mimpi, kau ingin secepatnya terbangun. Meski itu artinya kau harus segera mandi dan mengecek deretan pesan para atasan. Tidak apa. Setidaknya, bekerja tampak lebih logis dibanding bermimpi sebagai pembantu ular naga.

"Baik. Saya belikan dulu di warung."

Melihat kau yang patuh, ular naga itu mengangguk mahfum. Seperti angguk bapakmu ketika kau menurut untuk tidak bermain terlalu larut. Seperti angguk gurumu saat kau menjawab bahwa dua pangkat dua adalah empat, bukan lima, enam, atau sepuluh.

Sepulang perjalanan membeli kopi, kau melihat sekumpulan anak asik bermain.

Tangan mereka saling meraih pundak. Berurut. Berjalan mengitari terowongan yang diapit oleh dua tiang, berbentuk tangan. Mulut mereka menyenandungkan sebuah nyanyian. Seperti kau kenal. Kau ikut merapal:

ular naga panjangnya bukan kepalang... menjalar-jalar selalu riang kemari... umpan yang lezat itulah yang dicari... ini dianya yang terbelakang! HAP.

Terowongan itu menangkap tubuhmu. Ular naga menangkup kesadaranmu.

Kau masih menggenggam kopi. Berjalan linglung dalam kubikel gedung tinggi.

--

September 1, 2021

Tutut Setyorinie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun