- The Earth is not a globe, but a fragile, interdependent network - Bruno Latour (Facing Gaia, 2010)
Ada kritik tajam berdimensi mitologi-kultural dari Jean Couteau terhadap para penguasa dunia yang gemar mengumbar perang--Trump, Netanyahu, juga Putin. Kritik yang penting direnungkan.
Budayawan Perancis yang ahli Bali ini menulis di kolom Udar Rasa, Kompas. Judulnya "Dari Primata Menjadi Manusia."
Jean Couteau menggunakan mitologi Prabu Watugunung sebagai basis kritiknya.
Watugunung adalah anak yang diramal bakal mengakibatkan kekacauan besar. Kelak, selain sakti mandraguna, ia melakukan penaklukan, penghancuran lantas sentralisasi kekuasaan. Termasuk dalam rangkaian ini adalah dengan penaklukan kerajaan ayahnya sendiri, Raja Kulagiri atau Prabu Palindriya (Resi Dadapan).
Couteau mengatakan jika Watugunung sempat diasuh oleh ibu dan ibu tirinya sebelum akhirnya diusir karena suka membuat onar. Namun ada versi yang bilang sejak diramal menjadi penyebab kekacauan, anak ini sudah dibuang dan dibesarkan seorang pertapa.
Sesudah bertahun-tahun dalam pembuangan hingga penaklukan, Watugunung akhirnya tiba di rumah yang menolak dirinya. Ia kemudian bersenggama dengan ibunya sendiri, Ratu Sinta, dalam ketidaktahuan. Ada versi yang mengisahkan jika hubungan inses ini melahirkan 27 keturunan yang nama-namanya menjadi "wuku" sistem peninggalan Jawa.
Sementara dalam udar rasa Couteau, hubungan itu hanya berlangsung semalam. Sinta, ibu kandung yang malu luar biasa, kemudian memprovokasi Watugunung untuk menyerbu khayangan dan berencana menikahi Ni Nawang Sari, istri Dewa Wisnu.
Penyerbuan ini adalah puncak dari kisah Watugunung, pertanda akhir sejarah. Dia takluk tapi Dewa Wisnu tidak membunuhnya. Ada suara dari yang berwasiat begini.
"Dan Watugunung, mulai kini, engkau menjadi penguasa waktu. Kutempatkan engkau di minggu terakhir dalam siklus Pawukon Jawa. Dan ibumu---yang mengawali hidupmu---menempati minggu pertama dalam siklus berikutnya. Di antara kalian, kupasang satu hari pemisah: hari terakhir dalam pawukon---hari Saraswati."
Watugunung tidak berakhir sebagai penakluk saja. Kisahnya dihidupkan dalam pengaturan kosmis yang menandai sebuah era pramodern.
Dalam situasi yang lain, seperti yang dikatakan Jean Couteau, kisah ini mengingatkan bahwa manusia bukan saja makhluk politik yang ambisius dan menghalalkan segala cara. Manusia selalu harus menyadari tapal batas diri (hakikat), moral dan kaidah yang mengatur tatanan bersama.
Bagian pada kesadaran akan batas diri, moral, dan keberlangsungan tatanan bersama inilah yang mendesak dibicarakan ketika planet bernama Bumi ini sedang berada di ambang penghancuran besar-besaran.
Mari kita tengok sejenak.
Manusia: Subyek Rasional, Batas dan Krisis
Satu orang manusia semacam Donald Trump yang memimpin negara adidaya seperti Amerika Serikat bisa tiba-tiba bikin seluruh dunia meriang. Manusia yang satu ini bisa saja membuat dunia berada di depan kiamat karena perang.
Slogan "Make America Great Again" yang mula-mula muncul di era Ronald Reagan (1980) bukan saja ekspresi keangkuhan. Ia juga adalah penegasan jika kesediaan mendengarkan kecemasan dunia, utamanya mereka yang menjadi korban, bukanlah prioritasnya.
Semua hanya penting sejauh disetujui oleh cara pandang rezim Trump. Celakanya, orang ini tidak sendirian. Bukan saja memiliki pendukung fanatik di dalam negeri, ia juga membangun sekutu.
Pertanyaan yang paling menggelitik adalah bagaimana mungkin negara semaju dan semodern Amerika Serikat--dimana rasionalitas dan kritik adalah jangkarnya--boleh melahirkan presiden semacam ini? Demokrasi dari publik macam apa yang sedang bekerja?
Teoritikus politik banyak yang bilang "kegilaan kayak begini" memang dihidupkan oleh populisme sayap kanan. Di dalamnya ada ilusi tentang kemurnian identitas, perasaan paling kalah di hadapan modernisasi (modernisation losers), serta jalan pintas kepada kejayaan dengan meniadakan yang berbeda (the others).
Dengan kata lain, Trump hanyalah puncak dari arus dimana kemanusiaan tengah berada dalam krisis. Kemanusiaan sebagai titik temu dimana peradaban dibangun untuk melayani semua orang sebagaimana cita-cita Pencerahan tidak lagi menjadi langgam utama.
Tentu saja, kemanusiaan yang dilahirkan sekaligus diidealisasi oleh semangat Pencerahan memiliki banyak masalah di dalam dirinya. Sapiens atau subyek Cartesian sebagai basis dari antroposentrisme adalah sumber dari banyak penghancuran, dari genosida hingga ekosida.
Persis di persinggungan ini---antroposentrisme Pencerahan yang melahirkan malapetaka terhadap planet--kita diajak melihat ulang manifestasi krisis dari proyek ini.
Salah satunya adalah refleksi yang dilakukan oleh Robertus Robet, filosof cum sosiolog yang mengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Refleksi dimaksud termuat dalam naskah pidato pengukuhan Robertus Robet sebagai Guru Besar Filsafat Sosial UNJ belum lama berselang.
Naskahnya berjudul Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia (naskah utuh bisa dibaca di Forest Digest).
Saya tidak akan masuk ke dalam kerumitan kritik yang terentang dari Anthony Giddens, Gunter Anders, dan Ulrich Beck terhadap bagaimana modernitas dan masyarakat modern bekerja atau eksis.
Satu benang merah yang jelas adalah masyarakat modern telah berkembang melampaui batasnya, seperti juggernaut yang menabrak segala arah (Giddens), menciptakan sistem, kerentanan dan resiko dimana-mana (manufactured risk) yang mengancam kelangsungan, serta yang paling parah adalah mengalami "kebutaan apokaliptik" yakni ketakmampuan mengenali dan mengakui ancaman destruksi yang ditimbulkan teknologi. Hal ini disebabkan keyakinan berlebihan terhadap kemajuan dan ketidakmampuan membayangkan akhir dari peradaban.
Dalam penegasan Robertus Robet, manusia dan masyarakat modern didesain untuk melupakan bahaya yang mereka ciptakan. Kelupaan ini yang melahirkan the invisibility of catasthrophe: ancaman dan bencana terasa jauh, tak terlihat dan abstrak sehingga menunda reaksi moral dan politik, dengan akibat memperbesar risiko apokaliptik.
Perlu disadari jika risiko apokaliptik di sini, bukanlah kiamat dalam pengertian biblical melainkan technological atau anthropological apocalypse, di mana manusia mencipta teknologi hingga melampaui kapasitasnya untuk mengendalikannya secara etis.
Jadi, tanpa ada pergeseran epistemologis hinga etis yang radikal, maka pertumbuhan rasionalitas teknologis yang terus menerus memicu resiko kepunahan planet adalah jalan yang niscaya di masa depan.
Dari kritik ini, Robertus Robet kemudian mengenalkan pokok pikiran Bruno Latour yang berkaitan dengan Actor-Network Theory (ANT).
Seperti apa kemungkinan jalan keluar dengan menggunakan perspektif Latour yang dielaborasi oleh Robertus Robet?
Saya hanya akan mengestrak tiga argumen yang terasa sangat fundamental dalam konteks bagaimana pengetahuan diproduksi sebagai alternatif terhadap prinsip tradisi mapan"Cogito Ergo Sum".
Pertama, segera tinggalkan cara berpikir "bipolar" (dua kutub) yang terwarisi dari cara berfikir filsafat Barat modern yang mempertahankan demarkasi tajam antara alam-kultur, dan atau sains-politik.
Konsekuensinya, manusia dan masyarakat modern [yang merupakan produk dari cara berpikir yang bipolar ini] pada gilirannya menjadi ‘buta’ terhadap munculnya fenomena-fenomena percampuran/hibrid atau persilangan antara alam-kultur maupun sains-politik, simpul Robertus Robert.
Kedua, memaknai dengan sungguh-sungguh bahwa manusia bukanlah satu-satu aktor di muka planet, sisanya hanya obyek pelengkap bagi pemuasan kepentingan dan ambisi Sapiens.
Oleh karena itu, sadarilah bahwasanya: realitas bukanlah buah dari tindakan subjek terhadap objek, melainkan hasil dari jaringan relasional yang saling memperantarai. Dengan kata lain ontologi Latour bersifat relasional dan performatif—entitas itu ada karena dan dalam hubungan antar mereka.
Ketiga, cara kita melihat diri dalam proses pembentukan pengetahuan bukanlah sebagai subyek tunggal, non-kepentingan, obyektif, dan sepenuhnya menggenggam kebenaran dari dunia di luar sana. Di luar manusia berpikir hanya ada obyek-obyek pasif.
Dengan maksud lain, pada alam kerangka Latour, pengetahuan bukan hasil murni dari rasionalitas subjek manusia, melainkan hasil dari kerja kolektif berbagai aktor (ilmuwan, laboratorium, instrumen, hewan uji, dokumen, dll.) yang disusun dan dinegosiasikan dalam jaringan.
Pada ujungnya, menurutmu, langkah praktis yang bisa dilakukan?
***
Catatan: Kalimat yang dibikin miring (italic) adalah pernyataan langsung Robertus Robet dalam naskah pidatonya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI