Tentu saja, kemanusiaan yang dilahirkan sekaligus diidealisasi oleh semangat Pencerahan memiliki banyak masalah di dalam dirinya. Sapiens atau subyek Cartesian sebagai basis dari antroposentrisme adalah sumber dari banyak penghancuran, dari genosida hingga ekosida.
Persis di persinggungan ini---antroposentrisme Pencerahan yang melahirkan malapetaka terhadap planet--kita diajak melihat ulang manifestasi krisis dari proyek ini.
Salah satunya adalah refleksi yang dilakukan oleh Robertus Robet, filosof cum sosiolog yang mengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Refleksi dimaksud termuat dalam naskah pidato pengukuhan Robertus Robet sebagai Guru Besar Filsafat Sosial UNJ belum lama berselang.
Naskahnya berjudul Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia (naskah utuh bisa dibaca di Forest Digest).
Saya tidak akan masuk ke dalam kerumitan kritik yang terentang dari Anthony Giddens, Gunter Anders, dan Ulrich Beck terhadap bagaimana modernitas dan masyarakat modern bekerja atau eksis.
Satu benang merah yang jelas adalah masyarakat modern telah berkembang melampaui batasnya, seperti juggernaut yang menabrak segala arah (Giddens), menciptakan sistem, kerentanan dan resiko dimana-mana (manufactured risk) yang mengancam kelangsungan, serta yang paling parah adalah mengalami "kebutaan apokaliptik" yakni ketakmampuan mengenali dan mengakui ancaman destruksi yang ditimbulkan teknologi. Hal ini disebabkan keyakinan berlebihan terhadap kemajuan dan ketidakmampuan membayangkan akhir dari peradaban.
Dalam penegasan Robertus Robet, manusia dan masyarakat modern didesain untuk melupakan bahaya yang mereka ciptakan. Kelupaan ini yang melahirkan the invisibility of catasthrophe: ancaman dan bencana terasa jauh, tak terlihat dan abstrak sehingga menunda reaksi moral dan politik, dengan akibat memperbesar risiko apokaliptik.
Perlu disadari jika risiko apokaliptik di sini, bukanlah kiamat dalam pengertian biblical melainkan technological atau anthropological apocalypse, di mana manusia mencipta teknologi hingga melampaui kapasitasnya untuk mengendalikannya secara etis.
Jadi, tanpa ada pergeseran epistemologis hinga etis yang radikal, maka pertumbuhan rasionalitas teknologis yang terus menerus memicu resiko kepunahan planet adalah jalan yang niscaya di masa depan.
Dari kritik ini, Robertus Robet kemudian mengenalkan pokok pikiran Bruno Latour yang berkaitan dengan Actor-Network Theory (ANT).