Seorang ibu tak pernah sudi merelakan kehilangan.
Maka setiap tahun, sebuah khaul ditegakkan.
"Anakku pergi mencari nafkah, ia meninggal di balik sebatang kayu.
Kini, aku mengenangnya bersama doa-doa dan kesedihan ingin kurapikan."
Demikianlah ibunya berkata, sesudah seorang pintar
salah membaca petunjuknya sendiri. Pada sebuah mangkuk,
air dan kata-kata.
Anak yang dikhaulinya, masih saja menjaga rindu,
kini menikah dan hidup sebagaimana alam memberi.
Tak ada lagi kayu, tak ada lagi perburuan nan riuh.
Lalu, dia pulang. Ke kampung halaman, kepada masa remaja yang asing,
dan ke peluk kasih ibu yang bertahun-tahun sudah merapikan airmatanya.
Anak yang dikhauli tanpa pernah dimakamkannya
kini nyata depan mata. Seorang menantu,
dua orang cucu menunggu dirangkul peluk.
Seorang lelaki kini kembali
sesudah kematian yang diperingati.
4/
Lelaki itu memberiku sebuah tempat
di hatinya yang ramah.
Rambutnya yang putih masih berkibar-kibar gagah,
kulitnya yang legam masih ingin mencari makna.
Ini tahun sudah berjumlah lima,
kami baru bisa berjumpa. Bicara seperti
seorang bapak kepada anaknya.
"Kamu dari mana saja?"