Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan Tiba dari Barat

25 November 2018   09:36 Diperbarui: 25 November 2018   23:04 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : fotocommunity.it

Mendung sudah tebal di ufuk Barat. Hari masih pagi dan seorang kepala tukang mulai sibuk membongkat papan. Hari ini dia akan mendirikan tembok dari dua rumah yang harus selesai akhir Desember ini. 

Sedangkan dari sebelah Timur, suara perempuan bercakap-cakap, salah satunya terdengar seperti sedang marah sekaligus curhat. Dan anak perempuan dari salah satunya keluar membawa jemuran. Tidak banyak, hanya dua potong seragam sekolah dan pakaian sehari-hari. 

Tidak jauh dari situ, seorang lelaki yang mulai menyetujui jika tubuhnya bertambah tambun berjalan tanpa kaos di badan. Menyusuri jalanan dari semen yang menghubungkan sepuluh rumah panggung dari kayu dan sebuah barak berkamar lima di gang ini. 

Langkahnya bergegas. Di belakangnya, menyusul seorang lelaki juga tanpa penutup badan, kekar dan lebar. Memegang telepon genggam non-smartphone, ia berbicara sesuatu dengan pelan, setengah berbisik. Mereka bukan anak dengan bapak, bukan juga kakak dengan adiknya. 

Dari arah berlawanan, dimana sungai besar mengalir sepanjang tahun, dua orang berkerudung membawa dua anak kecil. Kedua anak itu memecang bungkusan snack dan bercakap-cakap dengan bahasa yang mereka mengerti sendiri. 

Demikian juga kedua ibunya, bercakap-cakap tentang seorang anak, teman anak mereka, seorang tetangga di belakang pemukiman yang kemarin terjatuh dari sepeda. Tangan kirinya patah dan anak-anak mereka yang disalahkan. 

Tiba-tiba sebuah motor melaju dari ujung gang. Seorang perempuan muda, rambutnya panjang dari berkibar dihembus angin, sesekali menengadah ke langit. Gelap hampir merata di atas perkampungan. Dia ingin membeli pembalut. Dia salah menghitung tanggal haidnya.   

Gerimis turun. Kemudian deras. 

Perempuan yang bercakap dalam curhat tak lagi terdengar. Si tukang tak lagi berdiri di antara batu bata dan campuran semen. Dua lelaki telanjang badan tak lagi terlihat di jalanan semen. 

Perempuan muda berkerudung dengan dua bocah seperti hilang di ujung jalan. Dan perempuan muda di atas motor lenyap di balik tikungan, di depan sungai besar itu. 

Hanya bunyi air gugur di atas atap dari seng yang riuh. Hari tidak seperti berhenti. Hanya orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah. Mungkin kembali memeluk bantal, menggoda istrinya atau merokok sambil membayangkan rencana-rencana yang kini harus ditunda. Tapi bukan itu yang mereka lakukan. 

Hujan makin deras. Hawa dingin mulai menguar dari bawah lantai-lantai kayu. Bau tanah menyergap udara kamar. Petir menyambar-nyambar di langit Utara.

Seorang kakek muncul dari arah yang lain, membawa pancing dan ikan sebesar lengan orang dewasa. Rambutnya yang putih panjang setengah berurai kusut, setengah menutupi wajahnya yang keriput. Mulutnya merah, matanya hitam. Korneanya seperti tenggelam. Berkomat-kamit sepanjang langkah. 

Petir masih menyambar di Utara. 

"Dasar penakut!"

Hanya dua kata itu yang diteriakannya sesudah komat-kamit yang panjang. Sembari menatap langit, seperti menantang petir dan mengolok-olok hujan bulan November. "Dasar penakut!"

Blaaaaaaaarr!  

"Penakuuuut. Turun kamu! Turun."

Blaaaar!!

Aaaakh.

***

"Kek.."

Tubuh itu masih berusaha bergerak. Terasa kaku dan basah. Wajahnya menghitam, bajunya berasap dan beraroma gosong. Ada jejak merah yang kering di bibirnya. "Kakeek.."

"Siapakah yang tadi bertengkar denganku?"

Semua orang terdiam. "Kakek mengapa juga keluar rumah? Sudah tahu petir sedang marah."

"Siapa yang membuatku marah? Siapaa.." Suaranya lirih.

 "Aku, Mansyur."

Mansyur menatap sesosok perempuan berdiri di sana, di depan pintu, di balik cahaya yang rendah. Tersenyum bersama ompongya yang mulai utuh. Tubuhnya belum susut benar. Matanya itu, mata yang genit dan jenaka. 

"Kenapa, Nifa?"

"Biar kutahu seperti apa keyakinanmu, apakah ketakutan di bawah hujan dan petir yang menggelegar atau tidak."

"Nifa.."

Mansyur menyebut nama, lirih dan tak berdaya. Matanya berkaca-kaca. Semua orang tak lagi memandang lantai kayu, semua mencari-cari ke segala penjuru. Tiba-tiba, semuanya dibekap gigil di tengkuk. 

***

Hari masih pagi. Mendung mula-mula tebal di ufuk Barat. Kemudian gerimis dan deras. Petir menyambar-nyambar. Semua orang tiba-tiba sepi dari jalan. Berdiam dalam rumah kayu. Mengurung diri di dalam haru. 

Mansyur masih melipat tubuhnya. Matanya tak berhenti basah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun