Enam warung tradisional berdiri berdekatan tanpa saling mematikan. Mereka bertahan dengan kearifan sederhana yang justru dirindukan di era retail modern.
Di sebuah jalan kecil di samping rumah saya, pada jarak sekitar 100 meter, berdiri enam warung tradisional milik warga. Logika ekonomi modern mungkin berkata warung-warung itu akan saling memangsa.Â
Namun kenyataannya berbeda: semuanya tetap hidup, punya pelanggan setia, bahkan rukun satu sama lain. Fenomena ini bukan cerita baru setahun dua tahun, melainkan sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tanpa menimbulkan masalah berarti.
Rahasia mereka sederhana-bukan strategi bisnis rumit, melainkan harmoni, spesialisasi unik, dan rasa kekeluargaan yang membuat ekonomi kerakyatan tetap bertahan di tengah gempuran modernitas.
Ekonomi Kerakyatan yang Bertahan
Kalau kita pakai kacamata teori ekonomi, keberadaan enam warung dalam jarak hanya 100 meter jelas tidak masuk akal. Persaingan yang begitu dekat biasanya akan melahirkan "survival of the fittest": hanya yang terkuat yang akan bertahan. Namun di jalan kecil ini, hukum itu seakan tak berlaku.
Setiap warung tetap hidup karena punya kekuatan yang tak terlihat dalam teori pasar: kedekatan emosional. Pembeli bukan hanya konsumen, melainkan tetangga, saudara, atau kenalan lama. Mereka datang bukan sekadar untuk membeli beras atau gula, tetapi juga untuk menyapa, bercakap sebentar, bahkan sekadar menitipkan kabar.
Selain itu, warung tradisional punya fleksibilitas yang tidak dimiliki retail modern: utang.Â
Buku catatan sederhana yang diselipkan di pojok meja sering kali jadi penyelamat bagi tetangga yang sedang kesulitan. Tidak ada bunga, tidak ada denda keterlambatan, hanya kepercayaan. Dan kepercayaan itu menjadi modal yang nilainya lebih tinggi daripada uang.