Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rahasia Enam Warung dalam 100 Meter: Begini Cara Mereka Hidup Bersama

20 September 2025   05:05 Diperbarui: 19 September 2025   19:29 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang penjual dengan sabar melayani pembeli yang datang. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Enam warung tradisional berdiri berdekatan tanpa saling mematikan. Mereka bertahan dengan kearifan sederhana yang justru dirindukan di era retail modern.

Di sebuah jalan kecil di samping rumah saya, pada jarak sekitar 100 meter, berdiri enam warung tradisional milik warga. Logika ekonomi modern mungkin berkata warung-warung itu akan saling memangsa. 

Namun kenyataannya berbeda: semuanya tetap hidup, punya pelanggan setia, bahkan rukun satu sama lain. Fenomena ini bukan cerita baru setahun dua tahun, melainkan sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tanpa menimbulkan masalah berarti.

Rahasia mereka sederhana-bukan strategi bisnis rumit, melainkan harmoni, spesialisasi unik, dan rasa kekeluargaan yang membuat ekonomi kerakyatan tetap bertahan di tengah gempuran modernitas.

Ekonomi Kerakyatan yang Bertahan

Kalau kita pakai kacamata teori ekonomi, keberadaan enam warung dalam jarak hanya 100 meter jelas tidak masuk akal. Persaingan yang begitu dekat biasanya akan melahirkan "survival of the fittest": hanya yang terkuat yang akan bertahan. Namun di jalan kecil ini, hukum itu seakan tak berlaku.

Setiap warung tetap hidup karena punya kekuatan yang tak terlihat dalam teori pasar: kedekatan emosional. Pembeli bukan hanya konsumen, melainkan tetangga, saudara, atau kenalan lama. Mereka datang bukan sekadar untuk membeli beras atau gula, tetapi juga untuk menyapa, bercakap sebentar, bahkan sekadar menitipkan kabar.

Selain itu, warung tradisional punya fleksibilitas yang tidak dimiliki retail modern: utang. 

Buku catatan sederhana yang diselipkan di pojok meja sering kali jadi penyelamat bagi tetangga yang sedang kesulitan. Tidak ada bunga, tidak ada denda keterlambatan, hanya kepercayaan. Dan kepercayaan itu menjadi modal yang nilainya lebih tinggi daripada uang.

Warung berfungsi bukan hanya sebagai tempat berjualan, tetapi juga sebagai ruang interaksi dengan masyarakat. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 
Warung berfungsi bukan hanya sebagai tempat berjualan, tetapi juga sebagai ruang interaksi dengan masyarakat. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun