Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi Jalanan: Ketika Kedaulatan Rakyat Menjadi Nyata

29 Agustus 2025   18:18 Diperbarui: 29 Agustus 2025   18:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa di depan gedung DPR. (Sumber: kompas.com) 

Demokrasi Digital dan Konvergensinya Dengan Jalanan

Era digital membuka kanal ekspresi baru media sosial sering menjadi pemicu, sementara legitimasi tetap datang dari kehadiran fisik di jalanan. Fenomena ini masuk ke ranah yang disebut hybrid protest.

Prof. Sunyoto Usman bahkan menyatakan bahwa generasi Z dan Alpha kini tidak hanya eksis secara digital, tetapi juga mampu mengorganisir aksi nyata di jalanan mematahkan anggapan generasi ini apatis politik. 

Dampak Sosial-Ekonomi: Nyawa dan Mobilitas di Ujung Aspirasi

Demonstrasi memang berdampak pada kemacetan, bisnis terganggu, dan kerugian ekonomi sementara. Namun yang paling mengguncang adalah saat nyawa rakyat menjadi taruhan. Kasus Affan mengingatkan bahwa ruang publik adalah ruang hidup jika negara abai, korban akan berjatuhan.

Demo yang berakhir ricuh jelas membawa beban sosial lebih besar. Kehilangan nyawa seorang anak muda dalam peristiwa 28 Agustus 2025 bukan sekadar angka statistik, melainkan luka kolektif. Kasus ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan negara mengelola ruang aspirasi bisa berdampak fatal, bukan hanya kerugian ekonomi, tapi juga nyawa rakyat biasa.

Ritual Demokrasi & Risiko Kelelahan Publik

Sosiolog sering menyebut demonstrasi sebagai ritual demokrasi. Sebagai ritual, demonstrasi memperlihatkan identitas kolektif dan tekanan moral terhadap penguasa. Namun jika menjadi ritual tanpa strategi atau tujuan jelas, ia bisa memicu kelelahan publik (protest fatigue).

Tragedi ini seharusnya menjadi momentum bagi DPR dan pemerintah untuk serius membuka kanal dialog yang lebih sehat. Jika tidak, sebagaimana diingatkan banyak Kompasianer, kejadian serupa bisa terulang. Aspirasi publik yang diabaikan hanya akan menumpuk dan mencari jalan keluar di ruang jalanan, sering kali dengan risiko kericuhan.

Ruang Aspirasional yang Sistemik: The Call for Permanent Protest Zones

Jakarta tak bisa jadi arena demo terus-menerus tanpa antara pengaturan jelas. Gagasan “ruang demokrasi permanen”, seperti Taman Aspirasi di Monas yang pernah digagas tapi belum diwujudkan, bisa menjadi solusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun