Saya tertegun ketika mendengar seorang anak muda bercerita, "Saldo dompet digital saya sering kosong, tapi tetap saya pajang di media sosial bukti transaksi makan di kafe." Ungkapan sederhana itu menggambarkan fenomena baru: dompet digital kini bukan hanya alat transaksi, melainkan juga simbol gaya hidup.
Dalam beberapa tahun terakhir, dompet digital tumbuh pesat di Indonesia. Data Bank Indonesia mencatat pada tahun 2024, nilai transaksi uang elektronik di Indonesia menembus antara Rp1 kuadriliun hingga Rp2,5 kuadriliun, menandakan betapa masyarakat kini sangat akrab dengan ekosistem digital.Â
Namun, di balik kenyamanan dan kemudahan itu, terselip persoalan sosial yang jarang dibicarakan: dompet digital berubah menjadi arena status dan gengsi.
Dompet Digital: Dari Fungsional ke Simbol Sosial
Awalnya, dompet digital dirancang sebagai sarana memudahkan pembayaran: tanpa uang tunai, tanpa ribet mencari kembalian, dan bisa melacak pengeluaran lebih transparan. Tetapi realita di lapangan berbeda.
Anak muda seringkali menjadikan dompet digital sebagai penanda kelas sosial baru. Saldo di dalamnya menjadi semacam "nilai prestise". Tidak sedikit yang rela melakukan top up berlebihan hanya untuk pamer bukti transfer saat mentraktir teman. Media sosial memperkuat tren ini: screenshot bukti pembayaran diunggah seolah menandai "aku mapan, aku eksis".
Padahal, bagi sebagian besar pengguna, dompet digital tidak selalu sejalan dengan isi rekening. Gengsi sering lebih besar daripada kemampuan finansial. Di titik ini, dompet digital mirip kartu kredit tempo dulu: membuat konsumsi lebih lancar, tetapi diam-diam menggerus daya tahan ekonomi.
Realita Dompet yang Terkuras
Fenomena ini berdampak nyata. Penelitian pendahuluan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 58 % Gen Z merasa perilaku konsumtifnya meningkat sejak menggunakan dompet digital, dipicu terutama oleh promo dan cashback. Data eksperimen juga mengungkap bahwa pembayaran digital cenderung mendorong pengeluaran dibanding uang tunai."
Penyebabnya bukan sekadar kemudahan transaksi, melainkan juga dorongan impulsif: promosi "cashback", diskon eksklusif, hingga notifikasi belanja yang terus menerus memicu keinginan konsumtif.
Celakanya, ketika saldo terkuras, banyak yang justru mencari "jalan pintas" dengan memanfaatkan fitur paylater. Di sinilah persoalan sosial muncul: jebakan utang digital.
Jika tidak hati-hati, dompet digital yang semula terlihat sebagai "simbol modern" justru bisa menjerat penggunanya dalam lingkaran konsumsi tak sehat.
Dimensi Sosial: Gengsi Mengalahkan Rasionalitas
Fenomena dompet digital bukan sekadar masalah finansial individu, tetapi juga dimensi sosial.
Pertama, ada tekanan sosial. Anak muda merasa perlu menunjukkan gaya hidup digital agar diakui kelompoknya.
Kedua, ada pergeseran nilai. Konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan pencitraan.
Ketiga, ada blind spot kebijakan. Negara begitu gencar mendorong transaksi digital, namun minim kampanye literasi finansial agar masyarakat tidak terjebak perilaku konsumtif.
Pertanyaan kritisnya: apakah kita sedang menuju masyarakat cashless yang sehat, atau justru masyarakat "debt-full" yang penuh dengan utang digital?
Cara Bijak Menggunakan Dompet Digital
Fenomena sosial ini tidak bisa dibendung begitu saja. Yang diperlukan adalah literasi dan kedewasaan finansial. Ada beberapa cara bijak yang bisa menjadi pegangan:
1. Pisahkan dompet digital untuk kebutuhan berbeda
Jangan hanya memiliki satu akun untuk semua transaksi. Misalnya, satu dompet digital khusus transportasi dan makan harian, satu lagi untuk belanja online. Dengan begitu, pengeluaran lebih terkontrol.
2. Batasi saldo top up
Isi saldo secukupnya sesuai kebutuhan harian atau mingguan. Hindari mengisi terlalu besar karena akan memicu perilaku impulsif.
3. Gunakan fitur catatan keuangan
Hampir semua aplikasi dompet digital memiliki fitur riwayat transaksi. Jadikan itu sebagai cermin. Evaluasi setiap akhir minggu: apakah belanja lebih banyak untuk kebutuhan, atau sekadar keinginan?
4. Waspadai jebakan paylater
Ingat bahwa paylater bukan hadiah, melainkan hutang. Jangan gunakan kecuali untuk hal yang sangat mendesak dan terukur pembayarannya.
5. Bangun mindset gengsi sehat
Gengsi tidak salah, asal diarahkan ke hal produktif. Alih-alih pamer saldo, lebih baik pamer konsistensi menabung atau investasi.
Penutup
Dompet digital memang memberi kenyamanan, tetapi ia juga membawa wajah baru budaya konsumsi di masyarakat kita. Di satu sisi, ia simbol kemajuan teknologi finansial; di sisi lain, ia bisa menjadi jerat sosial-ekonomi jika tidak diimbangi literasi.
Pada akhirnya, yang perlu kita tanyakan bukan sekadar "berapa saldo dompet digitalmu hari ini?", melainkan: apakah dompet digital itu membuatmu lebih berdaya, atau justru sekadar alat gengsi yang menguras isi kantong?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI