Celakanya, ketika saldo terkuras, banyak yang justru mencari "jalan pintas" dengan memanfaatkan fitur paylater. Di sinilah persoalan sosial muncul: jebakan utang digital.
Jika tidak hati-hati, dompet digital yang semula terlihat sebagai "simbol modern" justru bisa menjerat penggunanya dalam lingkaran konsumsi tak sehat.
Dimensi Sosial: Gengsi Mengalahkan Rasionalitas
Fenomena dompet digital bukan sekadar masalah finansial individu, tetapi juga dimensi sosial.
Pertama, ada tekanan sosial. Anak muda merasa perlu menunjukkan gaya hidup digital agar diakui kelompoknya.
Kedua, ada pergeseran nilai. Konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan pencitraan.
Ketiga, ada blind spot kebijakan. Negara begitu gencar mendorong transaksi digital, namun minim kampanye literasi finansial agar masyarakat tidak terjebak perilaku konsumtif.
Pertanyaan kritisnya: apakah kita sedang menuju masyarakat cashless yang sehat, atau justru masyarakat "debt-full" yang penuh dengan utang digital?
Cara Bijak Menggunakan Dompet Digital
Fenomena sosial ini tidak bisa dibendung begitu saja. Yang diperlukan adalah literasi dan kedewasaan finansial. Ada beberapa cara bijak yang bisa menjadi pegangan:
1. Pisahkan dompet digital untuk kebutuhan berbeda