Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Makan Sehat Itu Mahal? Mitos dan Realitas di Meja Makan Keluarga Indonesia

27 Agustus 2025   23:43 Diperbarui: 27 Agustus 2025   23:50 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membawa bekal masakan sendiri meskipun sederhana namun jauh lebih sehat dan hemat. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Setiap kali harga sayuran naik, percakapan di dapur rumah tangga Indonesia hampir selalu berujung sama: "Makan sehat itu mahal." Ungkapan ini begitu populer, seolah-olah kesehatan hanya milik mereka yang berkocek tebal. Seakan-akan pola makan sehat identik dengan harga yang tinggi, buah impor, daging premium, atau sayuran organik dari supermarket. 

Namun, benarkah makan sehat memang mahal? Ataukah kita terjebak pada mitos yang dibentuk oleh gaya hidup konsumtif dan iklan produk pangan modern?

Mitos yang Mengakar di Meja Makan

Di banyak keluarga, makan sehat kerap diidentikkan dengan belanja di supermarket besar, membeli salmon impor, quinoa, almond, atau susu organik dalam kemasan mewah. Gambaran ini membuat "makan sehat" terasa eksklusif dan jauh dari jangkauan kelas menengah ke bawah. Padahal, definisi makan sehat tidaklah sesempit itu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, makan sehat berarti pola gizi seimbang: cukup karbohidrat, protein, lemak baik, vitamin, dan mineral. Tidak ada kewajiban harus mahal atau impor. Nasi, sayur kangkung, tempe, tahu, ikan kembung, atau buah lokal seperti pepaya dan pisang sesungguhnya sudah memenuhi kebutuhan dasar gizi harian.

Namun, tantangan utama bukan hanya soal harga, melainkan pola pikir dan kebiasaan keluarga. Banyak orang tua yang menganggap anaknya baru makan "bergizi" kalau ada ayam goreng tepung atau susu formula impor. 

Padahal, tempe - makanan tradisional Indonesia diakui dunia sebagai "superfood" karena kandungan proteinnya tinggi, probiotik alami, dan harga terjangkau.

Namun, mitos itu tetap bertahan. Mengapa? Salah satunya karena budaya konsumsi kita yang makin terpengaruh iklan, tren media sosial, hingga gaya hidup selebritas. Apa yang tampak "sehat" sering kali dikonstruksi oleh industri pangan modern.

Data: Antara Persepsi dan Fakta

Survei BPS (2022) menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga Indonesia untuk makanan mencapai 50,87% dari total pengeluaran bulanan. Dari angka itu, porsi terbesar masih untuk beras, rokok, minyak, dan mie instan. Buah dan sayuran segar justru menempati posisi jauh lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun