Sore itu, sepulang kerja, istri saya tampak sibuk ingin menunjukkan sebuah video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sedang viral. Ia begitu bersemangat sekaligus penuh emosi. Rupanya, di tempat kerjanya pun perbincangan yang sama sedang hangat- membicarakan narasi yang menyebutkan bahwa guru adalah beban negara. Jujur, saya sendiri malah baru mengetahui hebohnya isu itu dari istri.
Saya pun kemudian mengikuti ajakannya untuk menonton video tersebut. Ia membuka aplikasi TikTok dan menunjukkan tayangan yang sedang ramai dibicarakan. Ternyata bukan hanya dari satu akun, melainkan banyak akun yang mengunggah ulang dengan gaya berbeda-beda.
Sejenak saya tertegun, berusaha menahan diri agar tidak larut dalam provokasi diri sendiri. Jika menuruti ego, sebagai seorang guru tentu saya juga merasa tersinggung ketika disebut sebagai beban negara. Namun, sebagai pendidik saya merasa perlu bersikap bijak: tidak langsung percaya begitu saja. Harus netral dulu, tidak langsung "membabi buta" menyerap informasi yang ada.
Kemudian, saya memilih mencari klarifikasi dengan menelusuri sumber-sumber yang lebih akurat. Saya mulai melakukan pencarian di google, membuka berita dari media yang kredibel, untuk memastikan apakah benar pernyataan itu disampaikan, atau hanya sekadar potongan yang dipelintir.
Tujuan utama saya sebenarnya bukan untuk membela Sri Mulyani atau membenarkan isi video tersebut kemudian turut menghujatnya. Saya hanya ingin mencari fakta yang sebenarnya, supaya setidaknya bisa menghentikan rantai share-share informasi yang belum tentu benar, minimal di lingkungan keluargaku terlebih dahulu. Apalagi, saya tahu istriku pun masih menyimpan keraguan terhadap kebenaran berita itu.
Dari penelusuran itu saya akhirnya menemukan jawabannya: potongan video tersebut ternyata tidak utuh, bahkan ada yang hasil manipulasi dengan kecerdasan buatan (deepfake). Klarifikasi resmi Kementerian Keuangan juga dengan tegas menyatakan bahwa Sri Mulyani tidak pernah menyebut guru sebagai beban negara.
Yang sebenarnya ia sampaikan adalah tantangan anggaran pendidikan: bagaimana gaji dan tunjangan guru/dosen yang besar porsinya di APBN bisa dikelola secara berimbang dengan kebutuhan lain seperti fasilitas sekolah, laboratorium, dan beasiswa.
“Dari kasus inilah saya mulai merenung, mengapa sebuah hoaks bisa begitu cepat menyebar di tengah masyarakat kita?”
Di sinilah saya sadar, di era digital, sebuah potongan video bisa melesat lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Begitu juga yang terjadi pada kisruh “guru beban negara” yang menyeret nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hanya dalam hitungan jam setelah beredar, video tersebut memicu kemarahan publik, khususnya kalangan pendidik.
Pertanyaan pun menyeruak: benarkah seorang menteri berani menyebut guru sebagai beban negara? Atau jangan-jangan kita hanya sedang menjadi korban era viral tanpa verifikasi?