Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Viral Tanpa Verifikasi: Belajar dari Kisruh "Guru Beban Negara"

20 Agustus 2025   08:43 Diperbarui: 20 Agustus 2025   08:43 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Sumber: KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA)

Media arus utama memang bergerak melakukan klarifikasi, namun sering kali terlambat. Logika kerja jurnalisme membutuhkan waktu: verifikasi sumber, pengecekan fakta, dan penyusunan berita. Sementara hoaks bergerak dalam hitungan detik.

Kasus ini membuka mata kita: literasi digital bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga ekosistem. Netizen harus belajar lebih kritis, media harus lebih sigap, dan pemerintah perlu lebih transparan agar hoaks tidak mudah menemukan ruangnya.

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari kasus ini:

Pertama, pentingnya literasi digital. Publik harus membiasakan diri memeriksa sumber informasi sebelum membagikan. Jangan sampai kita menjadi penyambung lidah hoaks tanpa sadar.

Kedua, kita perlu mengingat kembali posisi guru. Mereka bukan beban, melainkan pilar bangsa. Tanpa guru, tidak ada dokter, insinyur, atau bahkan menteri. Jika ada isu soal anggaran, seharusnya yang dibicarakan adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, bukan menuding guru.

Ketiga, budaya tabayyun atau klarifikasi perlu diperkuat. Jangan buru-buru marah, jangan buru-buru membagikan. Verifikasi sebelum viralisasi.

Keempat, perlu ada kesadaran bersama bahwa hoaks bukan sekadar kesalahan kecil. Ia bisa merusak reputasi, memecah belah masyarakat, dan mengikis kepercayaan pada institusi.

Kelima, penting bagi pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam memilih diksi agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Kita bisa belajar dari kasus terbaru yang melibatkan Bupati Sudewo, di mana pernyataannya menuai reaksi luas dan menjadi bahan perdebatan.

Penutup

Kisruh “guru beban negara” bukan sekadar soal Sri Mulyani atau profesi guru. Ia adalah cermin betapa rapuhnya ekosistem informasi kita di era digital. Di tengah derasnya arus konten, kebenaran sering kali tenggelam oleh kecepatan dan sensasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun